29. Win-win
Begitu saja, Magenta dan Adam kembali seperti semula sejak mereka datang ke rumah sakit yang sama untuk menjenguk seseorang yang berarti bagi mereka. Hari ini hari operasi Stella dan Azam masih berada di rumah sakit sejak pingsannya laki-laki itu di bahu Magenta.
Magenta tak tahu Azam sudah siuman atau belum. Berkali-kali, di perjalanan, Magenta berkata khawatir pada Adam.
"Gimana kalau Javas mati, Dam?" tanya Magenta frustasi. "Dari jam sepuluh pagi sampai jam enam sore, dia nggak bangun-bangun. Gue harus gimana, nih? Gue belum minta maaf—"
"Tenang, Ta, tenang," potong Adam menenangkan. "Gue yakin Azam pasti bangun. Lo harus optimis dan do'ain doa, jangan berpikir yang buruk-buruk. Nanti kalau kejadian gimana?"
Magenta langsung meringis. "Iya, iya. Maaf, gue sebelumnya ngomong yang jelas. Ya Allah, maafin Magenta, Ya Allah."
"Udah, sekarang lo ke ruangannya Azam, liat dia," balas Adam memberi solusi.
Magenta mengangguk-angguk. "Lo juga semangat liat Stella-nya. Jangan sampai sedih kayak gue."
"Pastinya," jawab Adam dengan senyuman penuh ketabahan. "Lo juga. Yang kuat, Ta. Jangan nangis lagi. Nanti air mata lo abis."
"Ish!" Magenta memukul lengan atas Adam.
Adam meringis kecil sambil tertawa. Mereka hampir berpisah di lorong berlawanan saat Adam ingat sesuatu, jadi ia berbalik lagi dan memanggil Magenta hingga Magenta ikut berhenti melangkah dan berlaik pada Adam lagi dengan wajah kebingungan.
"Apa, Dam?"
"Javas itu nama Bapaknya Azam!" seru Adam memberitahu.
Mata Magenta membulat sempurna. "Apa?!"
***
Saat Magenta membuka kamar rawat Azam dan melihat laki-laki itu tengah terduduk sambil membaca bukunya, Magenta benar-benar lega.
"Alhamdulillah, Ya Allah!"
Seruan Magenta langsung membuat perhatian Azam teralih. Azam tersenyum melihat kedatangan Magenta dan makin lebar saat Magenta duduk di kursi sebelah bangsalnya.
"Hai, Bubu."
Magenta tak bisa menahan matanya untuk tak berkaca-kaca. "Lo kenapa, Zam?"
Kening Azam mengerut. "Zam? Kok manggil gue Azam?"
"Javas kan Bapak lo," balas Magenta sambil cemberut. Azam tertawa mendengarnya. "Heh! Memangnya itu penting sekarang? Lo kenapa tiba-tiba jadi kasian rawat inap begini? Lo sakit apa?"
Azam menyentuh dadanya dengan wajah syahdu.
Magenta menangis. Magenta terus menangis hari itu, tak kuasa membayangkan betapa sakit dan menderitanya Azam kini sampai lupa bahwa kedatangannya adalah untuk menyemangati Azam.
***
"Bunda," lirih Azam saat Bunda tengah membersihkan tangannya dengan handuk kecil basah.
"Hm?" Bunda membalas lemah, tak tega melihat anaknya kini kini terbaring dan menjadi lebih kurus dari sebelumnya. Bunda sangat tersiksa dan inginnya menangis sepanjang waktu, tapi tak mungkin ia melakukannya di hadapan Azam.
Sudah satu hari sejak Azam hanya bisa terbaring. Malam ini adalah malam kedua Bunda mengelap seluruh tubuh Azam yang sakit.
"Bunda mau cerai, ya?"
"Hah?" Bunda terperangah. "Dari mana kamu dengar tentang itu?"
"Sejak awal. Bahkan sebelum kekacauan di ulang tahun Nenek Widya," balas Azam dengan senyum tipis. Azam menatap Bunda dengan memelas. "Bunda jangan cerai, ya?"