31. Semakin Parah
Hari Kamis kembali menyapa. Artinya, sudah satu Minggu Azam tidak sekolah dan hanya menginap di rumah sakit dengan baju pasiennya. Magenta memikirkan Azam tanpa absen, bahkan berkat itu, Magenta kerap kali kena omel guru karena tak fokus pada pelajaran. Azam juga beberapa kali menangkap tubuh Magenta yang berjalan tanpa konsentrasi hingga hampir masuk got sekolah.
Magenta juga berusaha berkali-kali untuk mengingatkan dan menyugesti diri untuk berhati-hati. Namun, semuanya gagal saat ini terbayang tentang Azam. Kabarnya, Azam belum siuman hari ini, masih karena terapinya.
"Emangnya Azam sakit apa sih, Dam?" tanya Magenta frustasi saat mendengar berita dari Adam. Mereka dalam perjalanan ke parkiran untuk pulang sekarang.
"Gue juga nggak dikasih tau," balas Adam seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Orangtuanya aja nggak dikasih tau, apalagi gue."
Magenta mengerutkan keningnya dengan dalam. "Aneh."
"Yang sakit emang suka aneh-aneh, Ta," tukas Adam ringan. "Lo mau jenguk Azam nggak hari ini?"
"Gue ada tugas nge-cat rumah dari Ayah. Harus pulang sekarang."
"Ya udah kalau gitu."
***
Seperti yang dibilang malam sebelumnya, Magenta dan Ayahnya sedang mengecat rumah bagian belakang yang warnanya memang sedikit pudar. Magenta membatu dengan senang hati, sebab karena ini, Azam tak terus menghantuinya.
Bang Ale juga tak bersuara sepanjang mengecat. Satu jam kemudian, semuanya telah selesai. Kini, mereka sedang makan cemilan di ruang tengah dengan televisi menyala.
"Sebenarnya Ayah pulang karena khawatir sama kau, Bubu." Bang Ale tiba-tiba melakukan sebuah pengakuan.
"Hah?"
"Selama ini Ayah nggak bisa ada di sisi kau karena menyibukkan diri dengan kerjaan dengan pikiran supaya melupakan kesedihan akibat di tinggal Ibu kau," jelas Bang Ale dengan suara serak, sarat akan penyesalan dan kesedihan, "maafin Ayah, ya."
Mendengar penuturan itu, Magenta terdiam. Kemudian, ia mengambil napas dalam-dalam untuk setelahnya dikeluarkan secara perlahan.
"Nggak apa-apa, Yah." Magenta tersenyum segaris. "Aku ngerti."
Bang Ale tak senang melihat itu. "Maaf, Bubu."
"Nggak apa-apa, Yah." Magenta mengulang dengan suara lebih tulus. "Lagian ada Aunty Jasmine, Uncle Bram sama Kak Ardi yang rawat dan temenin aku selama Ayah nggak ada. Aku udah bahagia karena Ayah saat ada atau tidak ada. Ayah nggak perlu minta maaf."
"Terimakasih, Bubu." Kali ini, Bang Ale baru bisa merasa lega.
"Sama-sama, Yah." Magenta mengangguk. "Terimakasih juga udah mau berjuang buat anak kayak Bubu."
Mata Bang Ale langsung berkaca-kaca. Seperti hati Magenta, hati Bang Ale juga sangat lemah. Mudah luluh, mudah marah dan mudah berpindah-pindah. "Pengen peluk!" seru Bang Ale gemas.
"Kotor!" balas Magenta saat melihat tangan Bang Ale yang penuh bumbu ayam geprek. Iya, cemilan mereka sekarang adalah ayam geprek.
"Iya," balas Bang Ale sedih.
Magenta hanya tertawa. Kemudian, keduanya kembali fokus pada cemilan dan televisi.
"Anak itu," kata Bang Ale.
"Hm? Kenapa, Yah?"
"Anak yang lagi sakit sekarang."
"Siapa?" Magenta awalnya bingung, tapi kemudian ingat. "Oh, Azam?"
"Iya, Azam." Bang Ale mengangguk. "Ayah setuju kau sama dia. Rawat aja dengan baik. Biar kau nggak menyesal. Ayah izinin kau sampai malam buat temenin dia, kuatin dia biar semangat buat melawan penyakitnya."