Magenta sedang memarkirkan motornya saat tiba-tiba ada motor lain yang turut parkir di sebelah motornya. Magenta mengerutkan keningnya, seperti merasa tak asing dengan motor itu. Saat ia mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa pemilik motor itu, tatapannya terpaku.
"Hai, Bubu." Azam tersenyum lebar seraya melambaikan tangannya.
Magenta mengucek matanya, memastikan bahwa apa yang dilihatnya barusan bukanlah khayalan semata. Ketika ia membuka matanya kembali, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Tak ada motor, tak ada Azam, tak ada senyuman Azam dan tak ada sapaan serta lambaian tangan dari laki-laki itu.
Magenta membuang napas kecewa dan lanjut berjalan ke arah kelasnya dengan langkah tak semangat.
Mendadak, Magenta ingin menangis lagi.
Sesampainya di kelas, Magenta segera duduk di kursinya. Ujian Nasional sudah di depan mata, tapi Magenta tak bisa fokus karena Azam. Magenta menatap gelang alay di pergelangan tangannya, kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
Magenta terlelap, menelusuri mimpi di mana ia harap Azam ada di dalamnya, tanpa sakit atau menderita.
***
Tak terasa, Magenta sudah memarkirkan motornya kembali di pelataran rumahnya. Waktu terasa hampa, tak berarti dan berlalu cepat saat Magenta tak mendengar kabar-kabar apa-apa tentang Azam. Laki-laki itu masih di rumah sakit, mungkin keadaannya belum membaik.
Mau menjenguk lagi pun, Magenta merasa tak mampu. Hatinya sudah sakit dan raganya sudah lelah.
Magenta masuk ke kamarnya, kemudian menjatuhkan diri ke atas kasur dengan tak semangat. Mata Magenta sudah menutup, siap untuk menelusuri mimpi lagi saat ponselnya bergetar di saku roknya.
Dengan malas-malasan, Magenta melihat apa yang menyebabkan ponselnya bergetar.