Magenta sedang membereskan buku pelajarannya ke dalam tas sekolah saat ponselnya berdering. Buru-buru, Magenta menempelkan ponselnya pada telinganya saat melihat nama Javas sebagai pemanggil di telepon.
"Rumah di seberang juga pake nelpon segala," kata Mahendra tanpa basa-basi. "Aneh lo."
"Mau ketemuan?" tanya Azam tanpa basa-basi juga.
"Ditunggu," balas Magenta berani, tapi sebenarnya ia malu sekarang.
Tak lama, sambungan telepon diputus dan Magenta segera pergi keluar kamar setelah mematikan lampu. Saat hendak keluar rumah, Bang Ale ternyata ada di depan rumah, duduk di kursi rotan dengan kopi yang mengepul dan di salah satu kursi yang lain, Azam duduk.
Magenta tak bisa untuk tak terkejut melihatnya.
"Ya udah, Ayah di dalem aja. Kalian ngobrol aja yang puas," kata Bang Ale sambil berdiri dan menepuk pundak Magenta. "Jangan kelewat batas, ya."
Setelahnya, Bang Ale pergi dan meninggalkan Azam dan Magenta hanya berdua. Malam yang sudah menjemput membuat segalanya terlihat gelap, tapi tidak bagi Magenta saat melihat wajah Azam. Wajah laki-laki itu tampak bersinar, menghangatkan hatinya sampai ke sel terdalam.
Magenta duduk perlahan, kemudian tersenyum saat matanya saling berpandangan dengan mata Adam. Merasa gugup, Magenta langsung mengalihkan pandangannya kembali ke arah lain.
"Hai, pacar," sapa Azam santai.
"Pacar siapa sih?" tanya Magenta geli. "Gue nggak minat pacaran sama lo."
Azam cemberut. "Sedih gue. Cintaku bertepuk sebelah tangan."
"Nggak!" seru Magenta, agak berlebihan sebenarnya. "Nggak, cinta lo nggak bertepuk sebelah tangan! Gu-gue juga ...."
Magenta menutup mulutnya rapat-rapat saat Azam sudah tersenyum puas sekarang. Kelihatan sekali laki-laki itu sedang menertawakan Magenta dalam hati.
"Gue juga apa?" tanya Azam pura-pura bodoh.
"Tau ah," rajuk Magenta.
"Dih, ngambekkan," balas Azam dengan senyum geli. "Gue di sini mau ngomong sesuatu."