“Stella! Bangun! Udah siang nih, mau bolos kuliah lagi apa?!” teriak Fyra yang begitu memekakkan telinga sambil mengguncang tubuhku yang masih terasa lemas sesekali mengeliat kantuk yang masih dirasakan.
Kami sekamar dan dia adalah sahabatku. Beginilah rutinitas pagi yang sering kami jalani. Dia alarm yang alami dan juga manusiawi dengan melempar bantal, guling atau apapun yang berada di tangannya untuk membangunkan tidur.
“Dasar tukang molor! Lupakan saja soal mimpi pengin jadi CEO lahh ... orang kaya lah ... huft," ucapnya dengan helaan napas.
"Kau aja males - malesan gini,” keluhnya sambil masih menguncang - guncang tubuhku.
"Iya ... iyaa ... lagi melek ini," jawabku lirih sambil pelan - pelan mengumpulkan niat untuk bangun dari ranjang yang entah mengapa terasa begitu nyaman seakan tidak mau untuk beranjak.
Tangan kananku berusaha meraih dan berpegangan pada dipan sambil mengucek mata yang terasa gatal dengan sesekali menguap. Aku menyalakan layar smartphone yang ditaruh di meja kecil dengan hiasan pot bunga plastik warna violet kecil yang lucu di samping dipan, mengecek jika ada info kelas yang terlewatkan. Sekarang pukul sembilan pagi, setengah jam lagi kelas akan dimulai. Beruntung kampus dan alamat kos yang kutinggali tidaklah jauh, hanya membutuhkan sekitar 10 menit untuk sampai disana. Fyra sudah siap - siap dan tampaknya dia bersiap berangkat lebih dulu ke kampus ketimbang menungguku yang masih bau dan belum mandi. Bahkan, sekarang perutku keroncongan terasa lapar karena dari semalam tak nafsu makan dan tak memakan apapun lagi.
******
"Ting!" bunyi pop-up WA, menghidupkan sekilas layar smartphone yang ditaruh di atas modul mata kuliah Perpajakan, yang akhirnya kelasnya dapat kuikuti setelah berhasil berlarian naik ke lantai 5, lantai paling atas dengan alhasil tubuhku bersimbah keringat. Aku melongok sebentar, untuk melihat siapa yang mengirim pesan untukku. Tertulis nama pengirim pesan di layar "Ibu".
Sebenarnya tidak biasanya Ibuku mengirim pesan pada jam segini. Di sela - sela dosen yang tengah memberi materi, aku berusaha mencuri waktu untuk membuka smartphone-ku.
"Nak, lagi apa? Lagi kuliah ya? Makan yang banyak ya dan minum vitamin C biar tetep sehat ya," tertulis pesan dari Ibuku.
"Nak, bisa bantu Ibu ya. Tolong kirimkan sedikit uang ke rumah ya, buat bayar kebutuhan sekolah adik kamu. Makasih ya Nak," sambung pesan yang dikirimkan Ibuku.
Aku merupakan anak pertama dan mempunyai dua orang adik. Yang satu akan memasuki bangku SMP dan satunya lagi masih berada di bangku SD. Bagaimana dengan ekonomi keluargaku? Ibuku merupakan pekerja serabutan, terkadang membantu tetangga yang panen di sawah dan ayahku bekerja di sebuah pabrik tahu. Dengan pekerjaan tersebut ekonomi kami terbilang pas - pasan. Aku memutuskan merantau di Ibukota Jakarta karena melihat kondisi ekonomi keluarga sampai akhirnya berselang waktu memutuskan untuk menempuh kuliah agar dapat menunjang karir di Ibukota. Itulah mengapa aku selalu bermimpi menjadi seorang CEO dan Fyra akan mencemooh jika malah bermalas - malasan.