"Ra, punya uang lebih gak bulan ini?" tanyaku pada Fyra yang tengah membereskan beberapa tumpukan baju yang baru saja diambil dari jemuran.
"Kenapa emangnya?" tanyanya balik.
Aku memang sering meminjam uang padanya karena dia mengerti bagaimana keadaanku, kondisi keluarga dan motivasi yang mendorongku dalam bekerja sambil kuliah.
"Udah abis? Apa diminta ngirim mendadak?" sambungnya bertanya.
"Iya, dua dua-nya," ucapku mendadak merasa sedih.
"Kenapa nggak ngomong aja, kalo gak ada ... biaya hidup disini lebih mahal ketimbang di kampung, setidaknya orangtua juga bakal ngerti," ujarnya bak seorang kakak padahal umurku lebih tua 2 tahun darinya.
"Iya ... nggak bisa bilang gitu,"
Tujuan awalku adalah membantu keuangan keluarga dan bagaimanapun juga akan berusaha membantunya. Meski bisa dibilang hutangku sudah menumpuk lumayan banyak. Hah … kenapa kehidupan bisa bikin stress begini? Selain meminjam uang pada Fyra, aku telah meminjam pada beberapa apilkasi online, karena pencairan dananya yang cepat. Aku berusaha melunasinya dengan tenggat waktu yang mepet. Sudah ada sekitar lima belas juta hutang yang terkumpul pada beberapa aplikasi tersebut. Bagiku merupakan nominal yang sangat besar dibanding dengan gaji pekerjaan dalam sebulan yang masih harus disisihkan untuk membayar tagihan kuliah.
Setidaknya, semalam aku merasa sangat bersyukur karena bos tidak marah - marah sehingga mata pencaharianku masih terbilang aman. Entah sebenarnya ia tahu soal mojito yang tumpah apa tidak, karena ia malah seakan mengapresiasi pekerjaanku sambil menepuk pundak. Pria itu mungkin tidak bercerita soal mojito yang tertumpah di bajunya lantas jika bos mengapresiasi pekerjaanku apa yang ia ceritakan?
Hah, entahlah ... aku tidak ingin memikirkannya lebih jauh, hanya membebani pikiran saja. Tapi entah mengapa, soal pria semalam, ia terasa tidak asing bagiku. Entah mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat tanpa disadari.