Sebuah Rasa dan Asa

Aylani Firdaus
Chapter #7

STELLA : WHAT A CRAZY WORDS!

Tubuh tegapnya disandarkan pada sisi mobil fortuner yang terparkir di samping bar, dengan lampu sign yang masih dinyalakan. Daun pintu mobil itu dibiarkan terbuka seakan - akan ingin semua udara malam masuk ke dalam mobil berwarna hitam miliknya. Setelah melihatku yang tengah berjalan menghampiri, ia masih dengan santai menghisap batang rokok dengan ujung yang membara seraya bersandar pada sisi mobil.

Kali ini, aku andil dalam membereskan bar tetapi sebelum semuanya benar - benar selesai aku memohon pada Kris agar diijinkan pulang lebih awal. Semua alasan bohong yang kukatakan padanya demi keselamatan lingkungan sosial yang sudah dibangun. Aku tak ingin mereka tahu jika aku menemui teman bos di luar jam kerja dan tak ingin ada spekulasi apapun.

"Kita bisa bicara sekarang?" tanyaku. Matanya menyipit mengamati, ia menggisap rokoknya sekali sebelum membuang asap ke samping wajahnya, menjauh dariku.

"Masuklah dulu," ucapnya kemudian melirik ke dalam mobil dengan pintu yang terbuka lebar, mengisyaratkan agar masuk ke sana.

"Tidak, disini saja. Kita gak akan lama ngobrol," ucapku menolak. Aku telah memperhitungkan waktu yang dibutuhkan sekedar bicara dengannya. Tidak sampai 10 menit atau paling lama 5 menit dan itu cukup untuk menghindar dari teman kerja.

"Kau kediginan, masuklah."

Dari nada yang ia lontarkan, aku tahu. Dia tidak meminta melainkan memerintah. Nyatanya malam ini memang sangat dingin, sampai membuatku mengigil sesekali. Jaket merah maroon yang dikenakan tak cukup melenyapkan hawa dingin di sekitar. Akhirnya aku menuruti ucapannya sambil berharap hal - hal yang berkaitan dengannya cepat terselesaikan.

Ia memutari mobil dan akhirnya masuk setelah selesai dengan urusan merokoknya, duduk di sebelahku tepat di depan setir.

“Blug—“

Apa dia gila? Dia menutup pintu mobil itu? Aku memprotes atas tindakannya yang tidak digubris sama sekali. Sejujurnya merasa takut akan di bawa kabur oleh orang asing ini. Secara teknis aku hanya tahu namanya dan hubungan teman antara dia dan bos. Itu tidak menjamin bahwa ia merupakan orang baik - baik meskipun secara penampilan dia bukanlah berandalan. Kini keheningan malam mulai terasa di antara kita.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” ia memulai percakapan yang hampir saja terlupakan tentang tujuan awal menemuinya.

“Ah … iya,” ucapku mencoba mengingat seraya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

“Aku tau kalau kau yang membayar semua tagihanku, jadi tolong berikan nomor rekeningmu dan aku akan membayar semua hutangku. Tapi aku butuh waktu karena tidak bisa membayar sekaligus,” ucapku seraya memberikan ponsel, membuka menu notes agar ia mencatat nomor rekeningnya.

Ia menyeringai mengamati lalu memutar badan sehingga berhadapan langsung denganku, lengannya setengah menekuk disandarkan pada setir mobil.

“Kau akan membayar padaku?” tanya dia sambil terkekeh seakan meragukan ucapan itu. Aku tahu jika dia berasal dari kalangan atas tetapi meremehkan niat seseorang itu jelas salah. Meskipun semalam aku telah mabuk tetapi lari dari kewajiban tidak ada dalam kamus hidupku.

Lihat selengkapnya