"Gila! kau mau nge-date sama si brengsek itu?" tanya Fyra keheranan saat kami bersiap - siap menuju kampus. Entah mengapa ia memasukkan William ke dalam daftar orang yang dibenci.
"Gimana lagi? Gak ada pilihan lain. Dia ngelunasin semua hutangku di pinjol."
"Apa? Dia ... arghhh!" Fyra mengerang frustasi.
"Dia malaikat," ucap Fyra sejenak.
"Tapi mana mungkin dia malaikat, kau harus hati - hati dengannya Stel, dia ngelunasin utangmu cuma buat nge-date doang? Omong kosong! Pasti ada maksud lain," koreksinya kemudian sambil memperingatkan.
Aku mengeluh akan ucapan William semalam yang berakibat kami memperbincangkan perilakunya yang tidak normal di tengah persiapan menuju kampus. Aku menceritakan semua yang terjadi tanpa menyembunyikan apapun kepada Fyra dan berakhir dia semakin curiga dengan William. Memang tidak bisa lepas dari kecurigaan akan sikap baiknya. Apalagi dia merupakan orang asing.
Menjadi seorang pelayan di sebuah bar tidaklah memiliki hari libur yang pasti seperti orang kantoran pada akhir pekan. Kita akan terus rolling soal hari libur dengan pekerja lain dan hanya mendapatkan jatah libur 1 hari dalam seminggu. Aku tidak mempermasalahkannya, toh pekerjaan itu adalah sumber uang. Aku berusaha menghindar, mengirim beberapa chat padanya jika akhir pekan ini tidak ada jatah libur dan dia meminta di akhir pekan berikutnya seakan ini tidak pernah berakhir. Sebuah firasat buruk tiba - tiba menyelimuti. Saat dia mengajakku berkencan adalah pada hari selasa dan sekarang tiga hari berturut - turut dia mampir ke bar tanpa terlewat, memesan minuman dan bersikap baik dengan tidak kesal karena aku pura - pura tidak mengenalnya. Jelas jika ada kebohongan akan hari liburku, itu akan mudah ketahuan atau lebih parahnya jika ia memastikan pada bos … itu mengancam kehidupan sosialku. Tapi kurasa bos tidak akan mengingat hal remeh siapa saja yang libur di akhir pekan ini karena sudah ada yang mengurusnya.
Aku menyerah, lagi pula hanya ini satu - satunya yang dia terima untuk membayar hutang.
“Jadwal liburku ternyata di ganti jadi hari sabtu, aku bisa kencan denganmu di hari sabtu saja,” tulis pesanku padanya. Kenyataannya hari sabtu memang jadwal liburku dan tidak ada yang mengubahnya. Itu adalah upaya menghindar.
Meski secara teknis kami berada dalam ruangan yang sama, aku tidak ingin terlibat dalam percakapan langsung. Jadi, aku mulai mengirim chat sambil mengamatinya di sela - sela pekerjaan.
“Kedengarannya bagus. Jadi mari kita berkencan besok sabtu, aku akan menjemputmu di kos.”
“Kita akan pergi kemana?” tanyaku pada chat tersebut.
“Kau lebih suka kemana? Lebih baik kau saja yang menentukan.”