Ini sangat enak!
Tiramisu slice yang dipesan William benar - benar enak, terasa lembut dan manis di mulut, aromanya begitu menggoda dan kaya akan kombinasi antara kopi dan keju mascarpone. Manisnya tidak berlebihan dan sangat cocok dengan seleraku.
"Kau menyukainya?"
"... iya enak," ucapku sedikit malu.
Mungkin saja raut muka ini benar - benar menunjukkan kesenangan setiap melahap sendok demi sendok tiramisu yang tak bisa disembunyikan. Setelah ucapan "gila" yang dia lontarkan tadi setidaknya tiramisu ini telah menghiburku menjadi lebih baik.
"Kau boleh makan punyaku," ia menawarkan dengan mendorong piring berisi tiramisu slice.
"Kau tidak memakannya?"
"Tidak."
"Maksudku ... itu sudah cukup bagiku," sambungnya sambil tersenyum cerah.
Dia benar - benar mengalami perubahan yang sangat cepat tentang suasana hatinya. Apa boleh buat karena aku juga menyukai tiramisu ini jadi kuterima dengan senang hati tawaran darinya. Setelah mengisi perut yang kosong dan tidak memiliki banyak percakapan di dalamnya saat makan siang berlangsung, akhirnya dia mengajakku ke tujuan lainnya. Kurasa dia sudah memiliki banyak rencana soal kencan hari ini. Dia membayar semua tagihan makanan kita padahal aku memintanya untuk split bill meskipun biaya makanan ini dapat mengiris kondisi dompetku, pasalnya harga makanan yang dimakan kali ini bisa untuk jatah makan selama dua hari atau tiga hari paling lama. Tapi permintaan itu ditolak dengan keras olehnya.
Akhirnya kita berhenti di suatu tempat, ia memarkir mobil di basement Capital Mall hampir di paling pojok karena hanya itu satu - satunya tempat yang tersisa. Ia melepaskan seat belt dan aku mengikutinya. Aku sempat gugup karena ia belum mengatakan apapun sedari meninggalkan restoran.
"Gila! Mati kutu aku, Ra! Apa William mau ngajak ke tempat ramai sekarang? Padahal outfit dah jamet banget ... gimana dongg," tulis pesanku pada Fyra dengan menambahkan emoji menangis penuh air mata.
"Kemana kalian sekarang?" balasan yang didapat selang beberapa detik.
"Capital Mall, gak tau mau ngapain," tulisku pada chat terakhir lalu mengusap layar ponsel yang ternyata sudah menunjukkan pukul 13.55
Keheningan masih berlangsung dan kurasa dia juga tengah mengurus sesuatu dengan ponselnya.
"Apa kau tidak penasaran aku mengajakmu kemana saja hari ini?" tanya dia tiba - tiba. Mungkin saja dia memerhatikan aku yang tadi asyik memainkan ponsel.
"Tidak."
"Kuharap itu tempat yang ramai dengan cahaya yang terang, bukan tempat sempit yang cocok untuk bersembunyi. Aku ingin banyak orang mengawasi kita," ucapku padanya seraya menaruh ponsel ke dalam sling bag. Kenyataannya aku ingin menghindari tempat ramai karena penampilan ini tapi tempat ramai adalah yang paling aman untuk kita, dua orang yang masih bisa dibilang asing.
Ia terkekeh menanggapi. Raut mukanya mengeras seketika dan beralih ke arahku membuat kami berhadapan secara langsung, tatapannya kini berubah tajam.
"Stella ... apa kau menilaiku rendah? Apa kau berpikir aku akan mengajakmu ke hotel? Atau kau masih berpikiran aku ini om - om yang kesepian?" tanya dia dengan suara lembut tetapi terasa begitu menusuk dengan tatapannya, hingga mengalirkan udara dingin di sekitar.