Sebuah Rasa dan Asa

Aylani Firdaus
Chapter #15

STELLA : TWO WEEKS

Sudah hampir seminggu berlalu setelah acara kencan kemarin. Setelah pembicaraan terakhir di dalam mobil, William tidak mengucapkan sepatah katapun selain saling berpamitan di depan kos. Melihat reaksinya yang terakhir kali membuat perasaan bersalah mendadak menyelimuti. Memikirkan hal itu sebagai rasa bersalah membuat perutku mual.

Padahal dia bertindak seenaknya.

Bahkan perasaan ini membuatku gugup dikala memeriksa ponsel seakan tengah menunggu chat darinya sebagai hal yang paling dinantikan.

”Kau kenapa, Stella? Kayaknya dari tadi melamun mulu,” tanya Fyra saat kami berada di kantin sebelah gedung fakultas teknik untuk makan siang.

“Eh … enggak kok,” jawabku sedikit gugup.

Fyra secara tidak langsung menyadarkanku kembali. Bukankah ini yang diingkan olehku? Akan lebih baik jika keadaan kembali seperti semula. Saat aku tidak mengenal William sama halnya dia yang tidak mengenaliku. Acara kencan mendatang sepertinya tidak akan pernah terjadi dan aku harus bersyukur atas hal itu. Tapi entah mengapa hatiku malah sedikit nyeri.

"Apa tempat ini kosong? Boleh aku duduk disini?"

Itu Andrew, salah satu teman kuliah kami. Ia memiliki postur tubuh yang tinggi, rambutnya hitam ikal sedikit berantakan, memiliki kulit putih dengan mata sedikit sipit dan juga memiliki tipikal wajah yang menyenangkan ketika melihatnya. Meskipun perawakannya kurus tetapi dia cukup berotot. Sifatnya yang supel membuatnya mudah bergaul dengan siapapun termasuk aku yang jarang berinteraksi dengan sebagian mahasiswa kecuali untuk tugas kuliah. Yah, aku sudah disibukkan dengan jadwal yang padat melintang soal kuliah dan kerja. Jadi, hanya berinteraksi untuk hal - hal yang diperlukan saja.

Fyra mengijinkan dengan mengangguk dan mempersilakan Andrew yang tangannya penuh dengan nampan berisi soto lamongan dan es jeruk peras yang terlihat menyegarkan. Kemudian, ia dengan lahap memakannya sedangkan aku mulai beralih membuka grup whatsapps untuk mengecek informasi seputar pekerjaan.

"Apa kau sedang sakit, Stella?" tanya Andrew tiba - tiba, dengan punggung tangan terangkat menyentuh keningku. Aku sontak terperanjat, memberi reaksi sedikit mundur menghindarinya dan menatap dengan kebingungan. Fyra mengernyit, mengamati dengan tatapan tidak suka.

Apa dia kelewat ramah? Perilakunya terasa aneh disaat bersamaan.

"Oh ... maaf," ucapnya segera melepaskan punggung tangannya, menaruh kembali di atas paha dengan santai.

"Hari ini, Stella terlihat pucat," dalihnya dengan cepat.

"By the way, kalian udah ngerjain paper ekonomi makro belum?" sambungnya mengubah topik.

"Udah," Fyra menimpali.

"Ayo dong bagi ... kasih contekan kayak gimana," ujar Andrew.

"Nggak mau."

"Ah pelit ...."

Aku membiarkan mereka mengobrol meski tampaknya Fyra semakin lama tidak menyukai obrolan itu sementara aku asyik dengan urusan ponsel. Semua terus berlangsung sampai tiba waktunya mengambil kelas berikutnya, meski bisa dirasakan jika sepanjang obrolan Andrew beberapa kali melirik ke arahku di sela - sela obrolan mereka.

Apa yang dia lakukan? Bahkan aku tidak peduli.

Kini sudah hampir dua minggu aku tidak melihat William. Aku hanya melihatnya saat di bar dan ia sama sekali tidak mengunjungi bar. Beginilah akhirnya. Apa ini akhir yang buruk? Tidak. Tetapi hati kecil ini tidak menginginkan akhir yang seperti ini. Aku merasa sedikit kosong saat menatap monitor yang menampilkan jadwal MRT menuju stasiun Setiabudi dan telah melewatkan sebanyak dua kali keberangkatan. Ada apa denganku? Bodoh.

Akhirnya aku berhasil sampai di halte transjakarta Dukuh Atas 2 setelah melewatkan dua kali keberangkatan tadi dan masih harus menuju halte GOR Sumatri sebelum akhirnya berjalan sebentar untuk mencapai bar.

" ... Stella! Stella!" teriak seseorang dari belakang.

"Oh Kris!" jawabku kaget.

"Ada apa?" tanyaku keheranan sementara dia telah menepi dekat trotoar dimana aku tengah berjalan menuju bar.

Lihat selengkapnya