Sebuah Rasa dan Asa

Aylani Firdaus
Chapter #16

STELLA : SUNSET ON THE BEACH BRIDGE

"Kau besok weekends libur lagi?" tanya William, akhirnya memecah keheningan.

Kekesalannku telah mereda dan aku tidak berniat terpuruk oleh emosi itu. Lagi pula aku masih bisa pulang dengan aman dan tak perlu dipermasalahkan lagi. Aku menatap ke depan, menatap jalanan yang dihiasi kerlipan lampu di sepanjangnya. Memperhatikan orang lalu lalang menyebrang saat lampu merah menyala. William bersiap menarik tuas gas ketika traffic lamp mulai beralih ke lampu hijau.

"Tidak, aku libur di hari kamis. Kemarin dapet jatah jumat."

"Benarkah?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban ketika dia mulai menoleh padaku.

"Kalau gitu ... kita kencan di hari kamis," ujarnya.

"Apa kau tidak kerja?" tanyaku seraya menoleh padanya. Entah mengapa aku menjadi tertarik tentang kehidupan pribadinya. Dia tersenyum penuh arti meski kini fokus pada jalanan yang ada di hadapannya.

"Aku tidak bisa kencan siang hari, ada hal yang harus dilakukan," ucapku menunduk memainkan seat belt yang melingkari tubuh.

"Oh ... jadi kau punya kegiatan lain selain kerja?"

"Aku akan menyesuaikan dengan jadwalmu," sambungnya kemudian.

"Apa kau bekerja sesuka hati?"

Dia tersenyum lagi yang membuat kecurigaan akan reaksinya. Jelas dia bukanlah seorang buruh, pakaiannya saja terlihat mahal dan rapi. Gaya pakaian orang yang bekerja di sebuah kantor perusahaan.

"Jadi, kau seorang bos?" pemikiran itu terlintas begitu saja.

"Hah ... itu sangat wajar dengan penampilanmu," sambungku. Entah mengapa aku malah terkekeh, merasa adanya kepahitan dalam kehidupan, menyadari perbedaan yang mencolok antar latar belakang masing - masing. Dia bos, jelas berasal dari orang yang lebih dari berkecukupan dan aku hanya seorang buruh yang bergantung pada gaji bulanan untuk bertahan hidup di tanah perantauan. Sejenak aku memalingkan muka, merasa rendah diri. Mengamati jalanan yang bergerak cepat melewati jendela samping. Disaat seperti ini membuatku teringat akan senyuman Ibu.

"Aku konsultan perusahaan, aku bukanlah bos seperti yang kau kira. Jadi, jadwalku lebih fleksibel," ujarnya menerangkan.

Aku masih terhanyut mengamati jalanan tanpa menoleh padanya. Meskipun dia bukanlah seorang bos, kita tetap memiliki perbedaan yang sangat jauh. Apakah aku pantas untuk jatuh hati padanya? Ini bukanlah kisah dongeng pengantar tidur. Dimana seorang wanita miskin bertemu dengan pangeran berkuda putih yang kaya raya, hidup bahagia selamanya. Ini adalah kehidupan nyata. Dan kenyataan akan berbanding terbalik dengan sebuah dongeng.

"Kenapa kau diam, Stella?" tanyanya, bisa kurasakan jika jemarinya terjulur menyentuh pipiku sebentar dari kejauhan sebelum menariknya kembali. Aku bergidik. Ini bukan pertama kalinya ia menyentuh wajahku, tetapi reaksi tubuh ini seakan baru pertama kali. Aku menoleh padanya, mendapati ia yang kembali fokus menatap jalanan.

"Kenapa kau diam saja?" ia mengulangi pertanyaan yang sama dengan lebih tegas.

"Tidak, aku hanya sedikit ngantuk dan melihat - lihat jalanan."

"Kenapa kau ingin berkencan lagi denganku?" sambungku karena mulai penasaran.

Dia hanya mengendikkan bahu.

"Aku tidak tahu. Kenapa kita tidak cari tahu bersama saja?" ucapnya dengan santai tanpa menoleh.

"Hah? Apa maksudmu?” ucapannya tidak dapat dimengerti.

"Bukankan kau juga menginginkan kencan ini? Kita sama - sama menginginkan kencan, kan? Kenapa kita tidak cari tahu bersama saja soal kita menginginkan kencan ini berlanjut?"

Lihat selengkapnya