Sebuah Rasa dan Asa

Aylani Firdaus
Chapter #1

Prolog

Tubuhku bersandar pada tembok, di luar ruangan bar dekat pintu. Merasakan udara dingin yang perlahan mulai merasuk menjalari seluruh bagian tubuh tanpa terkecuali. Gelapnya langit disertai embusan dinginnya angin membuat bulu kuduk meremang. Beberapa pohon hias dalam pot yang tingginya sudah melebihi badanku, yang sengaja ditaruh di depan bar agar tampak menarik ketika dipandang terasa berisik karena saling bergesekan.

Aku sibuk memadatkan sebungkus rokok di telapak tanganku, rokok yang baru tadi sore beli dari sebuah minimarket terdekat. Hal yang belakangan sering kulakukan disaat pikiranku sedikit kacau atau sekedar mencari ketenangan. Mencoba menghirup nikotin yang terkandung didalamnya, bakal sejenak lebih menenangkan pikiran.

Sudah dini hari, lima belas menit lagi bar akan tutup. Dan sudah seharian bos mengomel karena omset kini menurun. Memaksa pada semua waiter, bartender dan semua staff-nya agar lebih ramah pada semua pelanggan, mengingatkan untuk selalu tersenyum yang ia yakini bisa mengembalikan semua pelanggannya. Padahal, kenyataannya konsep yang disuguhkan dalam bar ini yang sudah kelewat kuno.

Aku hanya membutuhkan uang untuk menyambung hidup di tanah perantauan. Andai saja, aku terlahir dari keluarga kaya tentu saja tak bakal bekerja di sebuah bar ini dengan bos yang hampir sepanjang hari mengomel sampai terasa begitu memekakkan telinga.

"Click—"

Jempolku memutar cepat roda pemantik pada korek api tokai, menyalakan api dalam genggaman. Membuat seberkas cahaya tiba - tiba menerangi wajah. Menghimpit sebatang rokok pada kedua jari dengan perlahan membakar ujungnya. Perlahan menghisap merasakan tembakau kretek. Mencoba menenangkan pikiran selama sesaat. Asapnya keluar sejalan dengan pernapasanku. Sesekali menutup mata sebentar sekedar menikmati suasana sebelum menyadari suara decitan sepatu yang begitu mantap tengah berjalan ke arahku.

“Iya Kris, aku bakal ikut membereskan bar. Sebentar lagi kok,” ujarku masih menghisap sebatang rokok sambil membuka mata.

Kemungkinan besar seseorang yang tengah menghampiriku adalah teman kerjaku, Kris. Siapa lagi? Pelanggan yang ingin nongkrong saat bar akan tutup? Jelas tak mungkin. Menyadari mungkin Kris bakal jengkel karena aku jadi keseringan tidak andil dalam membereskan bar akhir - akhir ini meski sebenarnya ia adalah tipe cowok yang tidak gampang marah ataupun kesal. Bukannya aku sembrono tapi Kris selalu mengijinkan.

Mataku membuka dan menyadari satu hal, orang itu bukanlah Kris. Melainkan orang asing. Seorang pria dewasa dengan setelan jas hitam yang sangat pas dengan postur tubuh tegaknya juga sepatu yang tampak begitu mengkilap karena terlalu sering dipoles. Tampilannya begitu necis. Bisa dilihat jika ia dari golongan orang kaya. Rambutnya sedikit berantakan tetapi di sisi lain ia terlihat begitu rapi tampak cocok dengan wajahnya yang maskulin.

Lihat selengkapnya