Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #2

BAB 1 - Bayangan di Sudut Rumah (Bagian I)

Di sudut ruang keluarga, di atas rak kayu yang mulai kusam dimakan waktu, sebuah bingkai foto berdiri membisu. Debu tipis menyelimutinya—tak pernah benar-benar dibersihkan, tapi Rafka juga tak pernah sanggup memindahkannya.

Di balik kaca yang sedikit buram, senyum seorang perempuan paruh baya terpampang lembut. Ia mengenakan kerudung biru langit dan kebaya batik sederhana. Tatapan matanya teduh—mata yang dulu selalu memandang Rafka dengan kehangatan, bahkan saat dunia di sekeliling mereka terasa dingin dan sunyi.

Rafka berdiri mematung memandanginya. Usianya masih enam belas tahun, namun sorot matanya seolah menyimpan musim-musim yang telah menua. Rambutnya yang berantakan menutupi sebagian matanya. Seragam sekolah yang kusut dan kantung mata yang menggelap menghias wajahnya, seperti bayang-bayang malam yang tak pernah benar-benar pergi.

Ia masih remaja, tapi hidup memaksanya untuk tumbuh lebih dewasa.

Setiap langkah terasa seperti menyeret beban tak kasatmata; ekspektasi ayahnya yang tak pernah surut, bentakan yang tajam seperti peluru, dan bayang-bayang Rafky, kakak yang terlalu sempurna untuk dikejar. Ayah mereka—Rafly, seorang pensiunan militer yang mendidik anak-anaknya seperti prajurit—keras, dingin, tanpa ruang untuk lelah atau gagal.

Dan pagi ini, semua itu terasa menumpuk, menghimpit tulang belakangnya sampai nyaris tak bisa berdiri tegak.

Rafka menyentuh permukaan kaca bingkai dengan ujung jarinya. Dingin, seperti pagi itu—saat terakhir kali ia melihat senyum ibunya. 

“Bun…” bisiknya nyaris tanpa suara.

Namun tak ada jawaban. Dan memang tak akan pernah ada lagi. 

Sudah dua tahun sejak hari itu. Terlalu cepat. Terlalu mendadak.

Kata orang: serangan jantung.

Kata Ayah: “Semua karena kamu terlalu lemah sebagai anak laki-laki!”

Dan kata Rafka, dalam diamnya: “Mungkin Ayah benar. Mungkin... memang gue yang salah.”

Ia mengulang kata-kata itu dalam kepalanya, seperti mantra yang terus menggores, setiap kali pagi datang tanpa ibunya.

Rafka masih ingat kenangan itu dengan jelas. Ibunya duduk di meja makan, mengenakan daster cokelat yang warnanya sudah mulai pudar. Tapi senyumnya... masih seterang mentari pagi, hangat, dan tak pernah luntur. seolah tak peduli pada tubuhnya yang mulai melemah.

Lihat selengkapnya