Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #3

BAB 1- Bayangan di Sudut Rumah (Bagian II)

Rafka melangkah keluar rumah tanpa sarapan, tanpa sepatah kata pun. Tak ada pamit, tak ada salam.

Dari ruang tengah, suara ayahnya masih terdengar—keras, kasar, penuh caci. Umpatan itu menempel di punggungnya seperti bayangan gelap yang tak bisa ia lepaskan, bahkan setelah pintu tertutup.

Udara pagi yang tajam menyusup ke celah-celah jaketnya. Rafka menarik hoodie lebih rapat, menutupi sebagian wajah seolah ingin menghilang dari dunia. 

Earphone terpasang di telinga, bukan untuk mendengarkan musik, hanya suara hampa dari white noise yang diputar berulang. Desis halus itu tidak selalu menenangkan, namun cukup untuk menenggelamkan suara-suara yang nyaris membuatnya ingin meledak: klakson yang memekakkan telinga, tawa keras, atau teriakan yang terlalu mirip dengan suara ayahnya.

Di halte, sekelompok siswa dari sekolah lain bercanda riang, suara mereka tumpang tindih seperti kaset rusak yang diputar terlalu kencang. Tawa meletup-letup, pecah seperti petasan di udara pagi. Rafka hanya meliriknya sinis lalu melangkah menjauh. Ia menyandarkan punggung ke tiang sambil menatap trotoar yang retak.

Ketika suara motor meraung terlalu keras, bahunya refleks mengencang.

Hening. Itu yang ia butuhkan. Tapi dunia tak pernah benar-benar diam.

⋇⋆✦⋆⋇

Di sekolah, langkah Rafka selalu lebih cepat dari tatapan orang-orang. Ia menyelinap masuk ke kelas, menunduk, menghindari interaksi, lalu duduk di sudut paling belakang, tepat di samping jendela yang menghadap taman kosong. Hoodie masih menutupi sebagian wajahnya, dan sepasang earphone terus menempel di telinga, seolah dunia luar bukan bagian dari dirinya. 

Tatapannya kosong, tertuju ke permukaan meja yang kusam, namun pikirannya melayang jauh, terombang-ambing di antara kabut kenangan dan kebisingan yang tak bisa ia redam. Di tangannya, sebuah pena tergenggam erat, ujungnya menekan halaman buku agenda tua peninggalan ibunya. Halaman-halaman itu sudah penuh coretan, acak dan gelisah, seperti isi kepalanya yang tak pernah benar-benar diam.

Di sekitarnya, suara-suara samar mulai menyelinap masuk ke dalam kesadarannya.

“Eh, mumpung belum bel, ke kantin dulu, yuk.”

Tawa menyusul, nyaring dan gaduh, seolah tak mengenal batas. Rafka tetap diam, tapi sorot matanya mulai gelap.

Lalu, sebuah botol minum terguling dari meja sebelah. Airnya tumpah, mengalir cepat di lantai dan membasahi sepatu Rafka.

*BRAK!

Kepalan tangan Rafka menghantam meja. Getarannya membuat seluruh kelas terdiam. Suara yang tadinya ramai mendadak terhenti.

Semua kepala sontak menoleh ke arahnya.

Tatapannya mengarah lurus ke kerumunan. Napasnya berat, bergemuruh pelan di antara diam yang mencekam. Wajahnya dingin, tapi amarahnya terasa panas, mendidih di balik kulit.

“Berisik,” gumamnya rendah, nyaris seperti erangan. Tapi cukup untuk membuat yang lain menelan tawa mereka.

Lihat selengkapnya