Langit pagi terbungkus awan pucat, abu-abu seperti halaman kosong yang belum disentuh pena.
Rafka menaiki tangga darurat menuju atap sekolah, tempat sunyi yang jarang didatangi siapa pun, kecuali mereka yang ingin menghilang.
Saat pintu besi berderit tertutup di belakangnya, suara dunia lenyap. Tak ada kelas, tak ada langkah kaki, hanya angin yang menyusup di sela rambut, dan detak jantung yang belum juga tenang.
Ia terdiam sejenak, matanya terpejam, membiarkan angin membelai wajahnya seperti tangan seseorang yang pernah ada, lalu hilang.
Perlahan, ia melangkah ke tepi pagar dan duduk. Kakinya menjuntai bebas, sementara tangan kirinya tanpa sadar kembali menggosok pergelangan yang sama. gerakan lama yang kini terasa seperti satu-satunya cara agar dirinya tetap utuh.
Tak ada yang tahu apa yang ia simpan. Tentang agenda yang sempat terbuka. Tentang suara-suara yang tak mau diam.
Hanya dirinya. Angin. Dan langit kelabu yang tak jauh berbeda dari hatinya.
Rafka meraih agenda tua di sampingnya. Sampul cokelatnya tampak lusuh, bergurat tinta luntur dan noda merah yang mengering.
Ia membukanya perlahan, seolah takut dengan apa yang akan terlihat.
Halaman-halamannya penuh coretan, ditulis dengan tangan gemetar dan amarah yang tak pernah reda. Kalimat-kalimat pendek, acak, seperti:
14/02 – Entah jam berapa. Kepala sakit. lagi.
bukan demam.
tapi... berisik.
semuanya terlalu berisik.
kenapa mereka gak bisa DIEM! !
kenapa gue selalu marah?
capek banget!
capek nahan semuanya.
muak sama diri sendiri!
...kadang mikir:
kalau gue ilang…
ada yang nyari gak?
atau malah lebih tenang?

Di beberapa halaman lain, hanya ada goresan-goresan hitam—garis-garis brutal yang saling menabrak, seperti labirin amarah tanpa pintu keluar.
Rafka menarik napas pelan, lalu membalik satu halaman lagi.
Tulisan ibunya.
Lengkung hurufnya sedikit miring ke kiri, tintanya memudar, dan tekanan pulpen yang dalam menunjukkan betapa kuat emosi yang pernah ditumpahkan ke kertas itu.
Rafka menelan ludah. Ada panas yang merambat dari tenggorokan ke dadanya.
Ia tahu apa yang akan ditemukan.
Ia pernah membacanya… sebagian. Tapi tak pernah sampai akhir. Tak pernah sanggup.
✾
Hari ini aku dengar suara itu lagi. Bukan dari luar… tapi dari dalam kepalaku sendiri.
Tadi, Rafka diam saja. Matanya kosong. Dan itu yang paling ku takutkan.