Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #5

BAB 2 - Tentang Sebuah Luka (Bagian II)

Bel panjang berdentang nyaring, menggema di ruang kelas yang semula riuh. Suara kursi diseret dan buku disusun tergesa, lalu senyap merambat cepat saat pintu dibuka.

Ibu Lilis, wali kelas XI IPA 2, melangkah masuk ke dalam kelas. Di belakangnya, seorang gadis mungil mengikuti pelan. Langkahnya tampak ragu, sementara pandangannya menyapu ruangan dengan gugup. Kulitnya sawo matang, rambutnya dikuncir rendah. Seragamnya rapi, dan di pergelangan tangannya melingkar gelang rajut berwarna biru—kontras dengan gerak-geriknya yang canggung.

Senyum tipis terukir di wajahnya, tapi sorot matanya menyimpan getar yang sulit dijelaskan. Jemarinya tampak gelisah, bergerak pelan memutar-mutar gelang itu—gerakan kecil yang seolah mampu menenangkan pikirannya.

“Anak-anak, ini teman baru kalian,” ucap Bu Lilis sambil menepuk pelan bahu gadis di sampingnya.

“Ayo, perkenalkan diri kamu,” lanjutnya, memberi isyarat ramah pada gadis itu.

Gadis itu membungkuk sopan. Suaranya pelan, tapi terdengar jelas di ruangan yang hening.

“Halo… aku Nayla. Pindahan dari SMA 3. Aku tinggal di panti asuhan Dandelion. Salam kenal semuanya.”

Ruangan mendadak lebih senyap dari biasanya.

Kata "panti asuhan" menggantung di udara, seperti rahasia yang diumumkan terlalu cepat.

Beberapa siswa melirik penasaran, sebagian mulai berbisik pelan. Yang lain menunduk, entah karena simpati… atau canggung yang tak tahu harus bereaksi bagaimana.

Sisanya hanya menatap dengan ekspresi datar seolah tak peduli, atau mungkin terlalu pandai menyembunyikan rasa.

"Baik, Nayla. Silakan duduk di kursi kosong di belakang," ujar Bu Lilis akhirnya, memecah kekakuan yang menggantung.

Nayla menunduk singkat, lalu melangkah menuju kursi yang dimaksud. Tapi tanpa sengaja, ia justru duduk di bangku yang bukan miliknya.

Bangku milik Rafka.

Yang pagi itu belum tampak di kelas, karena sedang dipanggil ke ruang BK.

Dan tak seorang pun bersuara untuk memperingatkannya.

⋇⋆✦⋆⋇

Di tempat lain, kesunyian berbeda menyelimuti ruang kecil berhias sertifikat dan poster motivasi: ruang BK.

Rafka duduk di kursi yang sudah tak asing baginya.

Bu Dwi tak langsung bicara. Ia membuka tirai jendela sedikit, membiarkan cahaya masuk perlahan. Lalu menuang teh dari termos kecil yang selalu dibawanya. Aroma teh melati menguar samar dari gelas keramik yang diletakkan Bu Dwi di depan Rafka.

“Masih hangat,” ucapnya pelan, “kayak biasa. Tanpa gula.”

Rafka menyambutnya tanpa banyak bicara. Ia meraih gelas itu perlahan, menggenggamnya dengan dua tangan seolah mencari sedikit kehangatan yang bisa menenangkannya. Tatapannya terpaku pada permukaan teh yang bergoyang pelan.

Bu Dwi duduk di balik mejanya, menyandarkan punggung ke kursi dengan tenang.

“Tadi pagi, sempat sarapan, nggak?” tanyanya, ringan, seperti basa-basi biasa.

Rafka menggeleng pelan. 

“Nggak lapar.”

“Hmm,” Bu Dwi menatapnya sekilas, senyum kecil terselip di ujung bibirnya. “Sarapan itu penting, lho, Raf. Badan kamu kurus begitu, nanti kalau kena angin bisa hilang.”

Rafka mengangkat sudut bibirnya sekilas, setengah senyum yang nyaris tak tampak.

“Ya… mungkin emang lebih bagus kalau gitu,” gumamnya, kali ini tak lagi sekadar defensif, ada getir yang tertinggal.

“Raf...” Suara Bu Dwi melambat, mengendap-endap mencari celah.

“Kamu kelihatan capek. Semalam… masih belum bisa tidur, ya?”

Rafka tak menjawab. Ia hanya mencengkeram gelas lebih erat, lalu mengangguk pelan.

Lihat selengkapnya