Bel istirahat berdentang nyaring, menggema di ruang kelas yang mendadak riuh oleh suara kursi bergeser dan langkah-langkah tergesa.
Namun Rafka tak menunggu suasana reda. Ia bangkit, menyambar tasnya, dan langsung melesat keluar tanpa memedulikan siapa pun.
Di ambang pintu, seorang gadis berdiri menunggunya. Rambutnya panjang sebahu, bergelombang halus, tergerai rapi seperti bingkai wajahnya yang manis. Tatapannya lembut, meski terlihat sedikit gugup.
“Raf…” sapanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Lo udah makan?”
Rafka tak berhenti.
Ia hanya melirik sekilas—tatapannya tajam dan singkat, lalu kembali melangkah tanpa sepatah kata pun.
Lana menoleh cepat dan melangkah setengah berlari, berusaha menyusul.
“Gue cuma nanya, Raf. Ini belum jam pulang, lho. Mau ke mana, sih?”
Rafka tak berhenti.
“Bukan urusan lo,” sahutnya singkat dan dingin. Suaranya datar, tanpa jeda, seperti ingin memutus percakapan sejak awal.
Langkahnya terus menjauh, tak sekalipun menoleh.
Lana tetap berdiri di tempat—membeku dalam diam.
Wajahnya menegang, dan meski bibirnya terkatup rapat, sorot matanya tak bisa menyembunyikan luka yang belum sepenuhnya hilang.
“Kenapa sekarang lo berubah…?” gumamnya pelan. Nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya jelas menyiratkan kekecewaan yang dalam.
Dari balik kaca jendela kelas, Nayla memperhatikan keduanya—punggung Rafka yang menjauh, dan Lana yang masih terpaku di ambang pintu.
Ada sesuatu yang membuat napas Nayla tercekat. Entah rasa ingin tahu… atau perasaan lain yang tak bisa ia pahami.
Ia nyaris tak menyadari, di barisan seberang, seorang siswa laki-laki juga menatap ke arah yang sama. Wajahnya tegang, rahang mengatup kaku, dan jemarinya mengepal di atas meja—Satrio.
“Brengsek lo, Raf,” desisnya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Nayla melirik sekilas, ingin bertanya, tapi mengurungkan niat. Ada ketegangan di wajah Satrio yang membuatnya memilih diam.
Baru beberapa detik setelah Satrio memalingkan pandangan, langkah ringan terdengar mendekat. Refleks, Nayla menoleh.
“Ngapain sih, lo dari tadi ngeliatin si Rafka terus?” bisik Citra—gadis cerewet dengan gaya cuek khasnya.
Rambutnya dicepol asal, dan wajahnya selalu penuh ekspresi.
Meski baru jadi teman sebangku, mereka sudah terasa akrab.
Citra cepat membaca situasi, dan lebih cepat lagi menangkap gosip yang berseliweran.
“Naksir, ya?” godanya sambil menyenggol lengan Nayla pelan.
Nayla langsung menggeleng cepat.
“Ih, enggak lah… cuma heran aja.”
Citra menyeringai, seolah tahu persis isi kepala Nayla.
“Eh, lo tau nggak, Nay… Dulu mereka satu SMP, lho,” bisiknya, nada suaranya seperti sedang membocorkan rahasia besar.
“Rafka, Satrio, sama Lana. Katanya sih, dulu mereka sahabatan.”