Jalanan sudah lengang ketika Rafka memutuskan pulang. Lampu-lampu kota memantul redup di genangan jalan, dan angin malam menyapu pelan tubuhnya yang mulai menggigil. Di bawah jembatan layang itu, ia telah duduk cukup lama—diam, memandangi gelap, membiarkan pikirannya mengembara tanpa arah.
Ia yakin rumah akan kosong malam ini. Ayahnya biasanya menginap di markas setiap hari Kamis, berbagi cerita masa lalu dengan teman-teman pensiunan yang masih haus aturan.
Tapi begitu membuka pintu, kegelapan yang biasa menyambut tak sepenuhnya hadir. Ada cahaya samar dari ruang tengah. Dan suara langkah berat yang langsung membuat tengkuknya menegang.
“Jam berapa ini?! Kenapa baru pulang!?”
Suara itu menghantam seperti cambuk, dingin dan tajam—serak menahan amarah.
Rafka membeku di ambang pintu. Ayahnya berdiri tegak di ruang tengah, sorot lampu temaram dari televisi yang menyala tanpa suara menajamkan bayangan di wajahnya. Wajah yang tegang. Mata yang menyala marah.
“Kamu pikir rumah ini hotel?!”
Rafka menunduk. Diam—tak satu kata pun keluar. Ia tahu, ayahnya tak pernah menerima alasan.
“Ayah capek liat tingkah kamu! bisanya cuma bikin malu, pulang tengah malem, mau jadi berandalan, hah?!”
Suara itu meledak, memecah kesunyian rumah yang sejak dulu tak pernah benar-benar jadi tempat pulang.
Rafka berdiri kaku di ambang pintu. Dingin AC menampar kulitnya yang masih basah oleh gerimis. Napasnya berat, seolah ada batu besar menekan dadanya. Ia ingin bicara, tapi tahu itu percuma.
“Kalau Miranda masih hidup, mungkin dia nyesel udah ngelahirin kamu!”
Kata itu… lebih kejam dari tamparan mana pun.
Sialan!
Jangan bawa- bawa Bunda!
Darah Rafka mendidih. Pandangannya kabur, tenggorokan tercekat.
Bayangan ibunya melintas sekejap—senyumnya yang dulu menenangkan, tangan hangat yang pernah mengusap rambutnya saat ia menangis.
Semua itu terasa jauh. Hancur oleh kalimat singkat yang baru saja terlontar dari mulut ayahnya.
Rafka mengepalkan tangan. Kukunya menancap dalam ke telapak.
Rahangnya mengeras. Dadanya panas. Ia diam. Tapi di dalam, badai sudah menggila.
“Contoh Rafky!”
Nada itu berubah, jadi sindiran yang menyayat.
Tch… udah gue duga.
Pasti dia.
Si anak emas. Piala berjalan. Kebanggaan yang selalu dipamerin.
Sementara gue?
Cuma berandalan.
Aib. Noda yang nggak pernah bisa lo bersihin!
“Nilainya sempurna, dan selalu juara. Itu karena dia disiplin dan bertanggung jawab. Nggak kayak kamu—pembangkang, keras kepala, bikin malu orangtua!”
Malu?
Lo malu punya anak kayak gue!?
Sialan! Harusnya gue yang malu—punya bokap kayak lo!