Pagi itu dingin dan muram, seperti sisa malam yang belum sepenuhnya reda. Langit mendung menggantung di balik jendela dapur. Uap kopi hitam mengepul di udara, tapi tak ada yang benar-benar menghangatkan ruangan atau siapa pun di dalamnya.
Rafka duduk di ujung meja, roti tawar dingin tersisa separuh di tangannya. Ia tidak lapar, hanya berusaha terlihat seperti anak normal yang menjalani aktivitas pagi seperti biasa.
Di dekat rak piring, ayahnya berdiri tegak. Kaos militernya kusut, seolah masih membawa medan perang yang tak pernah usai. Tangan bersilang, sorot matanya menusuk lurus ke arah Rafka.
“Ingat, pulang sekolah jangan keluyuran.” Suaranya datar, tapi nadanya tajam, seperti beban yang tak terlihat, tapi terus menekan dada.
Rafka hanya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. Ia tak berniat menjawab lebih dari itu.
Ayahnya menarik napas berat.
“Nanti sore Rafky sampai,” ucapnya tanpa basa-basi. “Kamu harus udah di rumah sebelum jam empat.”
Hening menggantung.
Rafka menunduk, menatap remah roti yang hancur di telapak tangannya.
Perlahan, tangan kanannya menarik lengan jaket, menutupi pergelangan yang masih perih.
Jantungnya berdegup pelan—bukan karena tenang, tapi karena kegelisahan samar yang terus merayap.
“Kalau kamu terlambat pulang,” lanjut ayahnya, “kamu tahu akibatnya.”
Ancaman itu bukan hal baru. Tapi pagi ini, entah kenapa terasa lebih menyesakkan. Karena yang menunggu di rumah bukan cuma ayahnya—tapi juga Rafky. Kakak sempurna yang senyumnya selalu disambut dan prestasinya dipuja.
Sedangkan Rafka? Tetap Rafka, bayangan yang tak pernah bisa terang.
Ia berdiri perlahan, menyambar tas tanpa bicara. Sepatunya berdecit lirih saat melangkah ke pintu.
“Jangan cari alasan buat ngilang pas kakakmu datang,” ucap ayahnya dari belakang.
Rafka terdiam di ambang pintu. Jemarinya mengepal, napasnya berat.
Ia tak menoleh—hanya berdiri sejenak, menahan gejolak yang nyaris meledak.
Lalu melangkah pergi.
Dunia di luar memang dingin. Tapi setidaknya…
Kesunyiannya tak sekejam yang di rumah.
⋇⋆✦⋆⋇
Udara di kelas terasa berat, meski jendela terbuka lebar.
Guru Fisika di depan bicara cepat, tangannya lincah mencoret rumus-rumus panjang di papan.
Setiap goresan kapur mengirim denyut ke kepala Rafka—tajam dan berulang.
Suara teman-teman jadi latar yang riuh, seperti gema yang tak bisa dipadamkan.
Ia duduk diam, tatapannya kosong tertuju pada buku catatan yang masih bersih. Tangan kanannya bergetar pelan di bawah meja, menggenggam ujung lengan jaket yang menutupi pergelangan tangan. Perihnya belum reda sejak pagi, dan kini berdetak seirama dengan gelisah yang bersemayam di dadanya.
Pikirannya melayang… sekelebat wajah Rafky muncul di benaknya.
Senyumnya yang selalu disambut hangat, suara Ayah yang tiba-tiba terdengar lebih ramah setiap kali menyebut namanya.
Rafka menunduk, rahangnya mengeras seolah menahan rasa pahit yang sudah, sering ia telan sendiri.
“Rafka,” suara Pak Ridwan terdengar dari depan kelas—datar tapi tegas.
“Coba kerjakan soal nomor tiga.”
Rafka tersentak. Kepalanya terangkat cepat, matanya menyapu ke depan seolah mencari arah suara.
Beberapa teman menoleh, sebagian menahan tawa kecil. Nayla pun sempat melirik dari tempat duduknya, alisnya mengerut tipis.
Rafka menelan ludah. Pandangannya menelusuri papan tulis, tapi angka-angka itu kabur, menari dalam pusaran yang memusingkan. Ia tak bisa menjawab. Otaknya beku. Pikirannya buntu.
Pak Ridwan menarik napas panjang. Matanya menatap Rafka sejenak—bukan marah, lebih seperti mencoba memahami.
“Coba ke toilet dulu. Cuci muka,” ujarnya pelan. “Nanti lanjut lagi.”
Rafka tak berkata apa-apa. Ia bangkit, lalu melangkah keluar kelas.
⋇⋆✦⋆⋇
Langkah-langkahnya terdengar sayup di lorong yang sepi. Rafka berjalan lunglai, seolah tubuhnya ikut menanggung beban di kepalanya.
Suara sepatu dan tawa dari kelas lain mengambang samar di kejauhan, tapi tak satu pun bisa menembus kekacauan dalam pikirannya. Ia membuka pintu toilet, dan aroma sabun pembersih segera menyergapnya.
Ia menatap cermin. Wajah pucat dengan kantung mata yang menghitam menatap balik. Air keran mengalir dingin, membasuh pipi dan pelipisnya, tapi tak benar-benar menyegarkan, seolah hanya memindahkan panas dari dada ke tengkuk.
Ia diam beberapa saat, membiarkan air menetes dari dagu ke kerah seragam. Tangannya menggenggam erat ujung lengan jaket, menutupi pergelangan kirinya yang perih. Suaranya tak keluar, hanya napas yang berat dan pendek-pendek.
Ketika ia keluar dari toilet, langkahnya melambat. Di ujung lorong, seseorang berdiri dengan senyum lembut—Bu Dwi, guru BK.
“Rafka,” sapanya pelan, seolah tak ingin mengejutkan. “Bisa ke ruang BK sebentar?”
Nada suaranya tenang, tidak menghakimi, Rafka hanya menunduk. Sejenak ia ragu, lalu mengangguk kecil tanpa kata.
⋇⋆✦⋆⋇
Ruang BK selalu hening, seperti celah waktu yang luput dari hiruk-pikuk sekolah. Tirai putih bergoyang pelan, diterpa angin dari jendela yang setengah terbuka. Aroma teh melati masih samar dari cangkir di atas meja.
Rafka duduk di seberang Bu Dwi. Punggungnya kaku, matanya kosong, tatapannya tertuju ke lantai. Tangannya menggenggam ujung lengan jaket yang menutupi pergelangan kirinya.
Sejak pagi, segalanya terasa berat. Rumah. Kelas. Bahkan napas pun rasanya salah tempat.
“Gimana kabar pagi ini, Raf?” tanya Bu Dwi, sembari membenahi beberapa map di mejanya. “Masih kesel?”
Nada suaranya ringan. Tapi justru terasa menusuk.