Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #9

BAB 4 - Kakak yang Terlalu Sempurna (Bagian II)

Lampu ruang makan menyala terang, tapi kehangatan yang diharapkan tak pernah benar-benar hadir.

Plastik berisi tempura udang itu tergeletak di tengah meja, dingin dan terlupakan.

Aromanya yang semula menggoda, kini menguap percuma, menyisakan keheningan yang menggantung.

Rafky duduk di ujung meja.

Sendok di tangannya hanya berputar pelan, menggores permukaan piring kosong tanpa arah.

Nafsu makannya lenyap. Perutnya mendadak terasa penuh—bukan oleh makanan, tapi sesuatu yang tak bernama.

Kata-kata Rafka tadi terus bergaung di kepalanya.

Semakin ia pikirkan, semakin buntu. Tak ada penjelasan. Tak ada celah untuk dimengerti.

Hanya sepi… dan rasa asing dari sosok yang dulu ia kenal sebagai adiknya.

Sementara di sisi lain, ayahnya bersandar ke kursi, wajahnya mulai mengeras. Sorot matanya tajam menatap tangga kosong, seperti menunggu bayangan yang tak kunjung turun.

“Kalau gak mau makan, ya sudah,” gumamnya pelan, nyaris tanpa ekspresi. “Memang susah diatur… gak kayak kamu.”

Ia meraih gelas, menyesapnya pelan, seolah tak ada yang perlu dipusingkan lagi.

Rafky tak menanggapi. Hanya menatap piring kosong di depannya. Ia ingin menjembatani sesuatu yang sudah lama retak, tapi kini sadar retakan itu mungkin sudah jadi jurang.

Di lantai dua, pintu kamar Rafka tetap tertutup. Sunyi. Seolah menjadi pernyataan yang lebih lantang dari kemarahan mana pun.

Dalam keheningan itu, suara jam dinding terdengar begitu nyaring, seolah waktu pun ikut menegaskan: ada yang tak lagi sama.

Dan malam pun berlanjut, dengan tiga hati yang saling berjauhan… meski masih tinggal di bawah atap yang sama.

⋇⋆✦⋆⋇

Pagi itu, aroma nasi goreng memenuhi dapur. Cahaya matahari merambat pelan melalui celah jendela, menyoroti meja makan yang tampak hangat, meski kehangatannya semu.

Rafka duduk dengan kepala sedikit tertunduk, sendok di tangannya hanya menyentuh nasi, sekadar mengaduknya pelan tanpa benar-benar berniat menyuap. Ia tidak lapar, hanya duduk karena ayahnya memanggil dengan nada yang tak bisa dibantah.

Ayahnya duduk di ujung meja, tenggelam dalam halaman koran yang sudah mulai kusut.

Di sebelahnya, Rafky menuang teh ke gelasnya sendiri. Senyumnya tipis, tapi ada kantung tipis yang menggantung di bawah matanya, bekas malam-malam yang tak benar-benar memberinya istirahat.

“Kuliah kamu gimana, Ky?” suara ayahnya tiba-tiba terdengar—nadanya ringan, tapi mengandung sesuatu yang tak bisa ditolak: ekspektasi.

Rafky terdiam sejenak. Gerakan tangannya melambat, nyaris berhenti di tengah tuangan.

“Masih aman, Yah,” jawabnya pelan.

Bibirnya membentuk senyum kecil, tapi sorot matanya meredup sesaat.

Tangan kirinya tanpa sadar meremas sisi gelas, lalu segera dilepaskannya. 

“Kemarin sempat jadi pengisi acara di seminar kedokteran...” lanjutnya. Suaranya sempat bergetar tipis, tapi ia buru-buru menstabilkannya. “Disuruh bahas soal pendekatan kasus klinis.”

Ayahnya langsung mengangguk puas, bahkan sebelum Rafky selesai bicara.

“Wah, hebat!” ujarnya sambil menepuk meja ringan. “Di situ, kamu pasti yang paling muda, ya? Memang, dari kecil kamu itu beda. Nggak salah Ayah selalu banggain kamu.”

Kata-katanya melayang di udara seperti uap panas—nyaris tak terlihat, tapi terasa membakar. 

Rafka menunduk lebih dalam, sendok di tangannya terhenti.

Matanya menatap nasi dingin di piringnya, tapi pikirannya ingin menjauh. Dari meja ini. Dari semua omong kosong yang membuatnya muak.

Rafky memaksa senyum. Tapi gelas di tangannya bergetar sedikit. Ia menelan ludah, lalu menjawab,

“Hehe... biasa aja, Yah. Masih belajar juga.”

Tapi seperti biasa, ayahnya belum selesai.

“Belajar itu harus, tapi kamu udah satu langkah lebih maju. Beda banget sama yang satu itu…” ucapnya, tanpa menyebut nama, tapi semua tahu siapa yang dimaksud.

Lihat selengkapnya