Cahaya matahari menyelinap melalui kisi-kisi jendela, menorehkan garis-garis hangat di meja dan lantai. Beberapa murid sudah duduk di bangkunya, membuka buku dengan tatapan setengah fokus. Yang lain masih asyik bercengkerama, tawa kecil dan bisikan bercampur menjadi latar samar yang mengisi udara.
Di sudut-sudut kelas, suara kursi digeser dan tas diseret terdengar samar—ritual pagi yang tak pernah berubah.
Nayla dan Citra duduk berdampingan, menaruh tas, lalu refleks menoleh saat Lana masuk dari pintu depan.
Baru saja duduk, Lana langsung disambut serangan pertanyaan dari Citra. Ia mencondongkan tubuh, matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Lan! Tadi pagi lo ngobrol sama siapa, sih?”
Lana mengangkat wajah, sedikit bingung. “Hah?”
“Itu loh! Cowok tinggi, rapi, ganteng kayak foto model, yang di depan gerbang!”
Lana tertawa kecil.
“Oh… itu Kak Rafky.”
“Rafky?” Citra mendekat, alisnya naik. “Rafky siapa?”
“Kakaknya Rafka,” jawab Lana santai, sambil membuka botol minum. Nada suaranya ringan, seolah itu bukan hal besar.
Citra melongo, lalu menepuk meja.
“Hah?! Lo serius? Gila, beda alam, cuy!”
Nayla yang sedari tadi menyimak hanya tersenyum kecil.
“Aku juga nggak nyangka, kirain tadi pacarnya Lana.”
Citra mendengus pelan, lalu menyeringai.
“Yang satu kayak freezer, satunya lagi kayak termos isi teh manis anget,” celetuknya usil, matanya bergulir seolah sedang menilai dua makhluk beda spesies.
Lana tersenyum kecil.
“Emang beda, sih. Kak Rafky tuh baik, ganteng, kalem, pinter, pokoknya green flag banget deh.
“Iya, iya… kalau dibandingin, si Rafka tuh udah kayak kucing garong, galak banget!” Citra mengangguk dramatis, lalu melirik Lana sambil menyipit nakal. “Eh, tapi… jangan-jangan sekarang lo malah naksir kakaknya, ya? Nggak dapet adeknya, kakaknya juga boleh~” godanya sambil mengedip jahil.
Lana terkekeh.
“Ih, apaan sih! Nggak lah.”
Citra mendekat lagi.
“Oh… jadi lo masih ngarepin si Rafka, ya?”
Lana tak langsung menjawab. Tangannya hanya memainkan botol yang sudah terbuka, sekadar alasan untuk menghindari tatapan. Lalu ia menghela napas pelan.
“Nggak tau...” gumamnya. “Gue sih udah coba buat lupain dia… tapi susah.”
Nayla dan Citra saling pandang sekilas, lalu Nayla bertanya dengan hati-hati.
“Emangnya, apa yang bikin kamu nggak bisa lupain dia, Lan?”
Lana tersenyum tipis, matanya seperti menyimpan lelah.
“Dulu waktu SMP, gue, Rafka, sama Satrio sering main bareng. Rafka emang cuek dari dulu, tapi entah kenapa… selalu ada hal-hal kecil dari dia yang bikin gue nggak bisa berhenti mikirin.”
Citra tertawa pelan sambil melirik Lana penuh selidik.
“Terus, lo sempet jadian nggak sama dia?”
“Nggak. Dia selalu jaga jarak. Kadang malah sengaja nyebelin biar gue nyerah. Tapi gue juga keras kepala, sih.” Lana tertawa hambar. “Makin dia dingin, makin bikin gue penasaran dan gemes sendiri.”
Citra bersandar ke kursinya—menghela napas pelan.
“Gila lo, Lan. Udah digituin masih aja betah sama si kucing garong.”
Ia tertawa sebentar, lalu menoleh pada Lana.
“Tapi lo hebat sih… masih bisa sabar dan ngertiin dia.”
Lana menunduk, menggenggam botolnya erat.
“Enggak cuma itu… gue juga ngerti kenapa sekarang Rafka kayak gitu. Dia nggak bisa percaya sama orang lagi. Kayaknya karena ada luka yang dia pendam.”
Citra melirik Lana sekilas, ekspresinya tak lagi bercanda. Ia hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa.
Nayla tidak langsung bereaksi. Sorot matanya sempat menilik wajah Lana, sebelum perlahan beralih ke bangku kosong di pojok kelas—tempat Rafka biasa duduk.
Entah kenapa, ada rasa asing yang mengendap di dadanya.
Tak berbentuk, tak bernama.
Tapi cukup membuat degup jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya.
⋇⋆✦⋆⋇
Langit siang tampak redup, tersaput serpihan awan yang berarak pelan.
Tak lama kemudian, dentang bel istirahat terdengar menggema.
Lana melangkah pelan menyusuri koridor menuju perpustakaan. Tapi ketika melewati lorong belakang sekolah, matanya menangkap sosok familiar di dekat bangunan tua yang menghadap taman kecil.
Rafka.