Langkah Satrio membelah lorong sekolah yang mulai sepi. Napasnya memburu, rahangnya mengeras.
Di belakangnya, Lana berusaha menyusul, meski jalannya masih sedikit pincang.
“Yo, tunggu dulu...” panggil Lana terengah, suaranya nyaris tenggelam oleh degup langkah.
Tapi Satrio tak menggubris. Pandangannya lurus ke depan—ke arah tangga menuju atap, tempat Rafka biasa mengasingkan diri.
Di belakang mereka, Nayla dan Citra menyusul dengan langkah cepat. Tak satu pun dari mereka bicara, hanya saling melempar pandang penuh tanya.
Rasa penasaran menggantung di udara, menebal seiring langkah yang makin mendekat ke arah atap.
⋇⋆✦⋆⋇
Rafka duduk bersandar di pagar pembatas. Earphone masih terpasang, tapi musiknya tak lagi terdengar di pikirannya. Jemarinya mengusap kasar pergelangan kirinya, seolah itu satu-satunya cara untuk meredakan kegelisahan yang menggerogoti dari dalam.
Namun keresahan itu tak kunjung reda, ia mengendap di tempat paling sunyi—menghantam diam-diam.
Rafka menarik napas berat kemudian merogoh sesuatu dari tas di sampingnya.
Agenda tua bersampul cokelat itu muncul di tangannya. Lusuh, dengan sisi-sisi yang mulai terkelupas.
Ia menatapnya sebentar, benda kecil itu mungkin tampak remeh bagi orang lain, tapi baginya, ini lebih dari sekadar buku.
Itu peninggalan terakhir dari ibunya, tempat ia mencurahkan segalanya.
Dulu, halaman-halamannya dipenuhi catatan tangan sang ibu. Tapi sejak kematiannya, agenda itu berubah.
Kini dipenuhi coretan tak beraturan. Kalimat penuh amarah, kata-kata tajam dan emosi yang tak pernah bisa diucapkan.
Agenda itu saksi: dari kasih seorang ibu, hingga runtuhnya hati seorang anak.
Rafka membuka satu halaman, matanya menyapu kata-kata lamanya sendiri.
Tulisan yang meledak-ledak. Tinta yang pernah ia toreh dalam isak.
Dan untuk sesaat, ia seperti berdiri di antara dua dunia—dikenang dan ditinggalkan.
Hingga suara langkah tergesa membuyarkan lamunannya.
Rafka menoleh, dan mendapati Satrio berdiri di ambang pintu. Dadanya naik-turun, napasnya memburu, tatapannya menusuk tajam ke arahnya.
Beberapa detik mereka hanya saling menatap. Angin berembus, menyusup diantara lipatan seragam Satrio, tapi yang terasa justru hawa panas yang menjalar dari amarahnya.
Rafka menutup agenda itu perlahan. Gerakannya tenang, tapi sorot matanya tetap tajam, tak berkedip.
“Puas lo sekarang? Udah nyakitin Lana!?” suara Satrio memecah keheningan, penuh ledakan emosi.
Rafka menarik napas, lalu melepas earphone-nya dengan gerakan malas.
“Kalau lo cuma mau nyalahin gue, mending lo balik.” Suaranya datar, nyaris hambar.
Di belakang Satrio, Lana baru tiba. Wajahnya tampak cemas.
“Satrio, please... jangan ribut di sini.”
Tapi Satrio sudah tak dapat dicegah. Ia berjalan mendekat, telunjuknya teracung tajam.
“Selama ini gue udah cukup sabar dan ngalah sama lo!” suaranya bergetar.
“Tapi lama-lama, gue muak liat kelakuan lo yang makin seenaknya!”
Rafka meletakkan agendanya di samping, lalu bangkit perlahan.
Suaranya datar, tapi ada bara yang menyala di balik nada suaranya.
“Lo ngomong apaan, sih!?”
“Dari dulu semua orang selalu maklumin lo!” Satrio nyaris berteriak.
“Lo kasar. Emosian. Nyakitin orang seenaknya. Tapi mereka cuma bilang: ‘Kasian, Rafka tuh punya luka.’”
Napasnya memburu. Matanya menajam.
“Tapi lo pernah mikir gak? Yang lain juga bisa luka... gara-gara lo!”
Rafka menyipit. “Lo ngelantur.”
“Asal lo tau, Raf...” Satrio menatap tajam, suaranya menekan, “yang selama ini ngaduin kelakuan lo itu gue. Bukan Lana.”
Lana membelalak. Napasnya tercekat. Tangannya reflek menutup mulutnya.