Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #12

BAB 6 - Saat Sunyi Mulai Bicara ( Bagian I)

Suasana ruang BK siang itu terasa lengang.

Satrio duduk di depan Bu Dwi, rahangnya lebam, sorot matanya gelisah.

Di atas meja, map cokelat terbuka, penuh catatan dari laporan yang belum selesai.

Tak lama, pintu berderit pelan. Rafka masuk tanpa suara.

Langkahnya tenang, wajahnya datar.

Ia hanya melirik Satrio sekilas sebelum menatap lurus ke arah Bu Dwi.

Keheningan menyambutnya.

Udara di ruangan itu terasa menegang.

Tak ada sapaan, tak ada sambutan. 

Hanya keheningan, seolah udara di ruangan itu ikut menahan napas.

Tanpa dipersilakan, Rafka menarik kursi di samping Satrio dan duduk.

Gerakannya tenang, tapi kaku.

Satrio langsung menegakkan punggung. Bahunya mengencang.

Ekor matanya melirik, cepat dan waspada—bukan karena takut, tapi karena tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Rafka tetap diam. Tak satu kata pun yang keluar.

Bibirnya pecah di satu sisi, menkeluar.  Darahnya membentuk garis gelap di kulit pucatnya. Tapi ia tak menyentuhnya, seolah rasa sakit itu bukan sesuatu yang penting.

Bu Dwi menutup map di depannya, pelan. Suara kertas beradu terdengar nyaris seperti bisikan.

Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap dua remaja di hadapannya—satu penuh amarah yang tertahan, satu lagi penuh diam yang membatu.

“Kalau kalian sudah cukup tenang,” suara Bu Dwi terdengar datar, tapi tegas. 

“Sekarang jelaskan. Apa yang sebenarnya terjadi di atap sekolah?”

Hening.

Tak ada jawaban.

Satrio menggigit bagian dalam pipinya.

Sekilas, matanya melirik ke arah Rafka—sekejap saja, tapi cukup untuk menyiratkan sesuatu.

Entah dendam, atau rasa bersalah yang enggan diakui.

Rafka hanya menunduk, diam, tak bergerak, seolah hanya tubuhnya yang tinggal di ruangan itu.

Bu Dwi menarik napas dalam.

“Rafka?” tanyanya, lebih lembut, tapi tetap tegas.

Masih tak ada jawaban.

Jemari Rafka menggenggam erat pergelangan kirinya, seolah itu satu-satunya bagian dari dirinya yang masih bisa ia kendalikan, agar sesuatu di dalamnya tak kembali pecah.

“Jadi… kalian berdua benar-benar nggak ada yang mau bicara?”

Nada suara Bu Dwi merendah, dan justru karena itu, terdengar lebih berat. Lebih mengintimidasi.

“Ini bukan sekadar cekcok biasa. Ini perkelahian. Di lingkungan sekolah. Dan sudah melibatkan kekerasan fisik.”

Tatapannya berpindah dari Satrio ke Rafka, lalu kembali lagi.

“Tapi kalian diam... seolah semua ini cuma masalah sepele.”

Tak satu pun menjawab.

Hening.

Bu Dwi menautkan jemarinya di atas meja. Suaranya tak terdengar lagi, tapi tatapannya masih tajam, menunggu jawaban.

Di seberangnya, Satrio akhirnya menghela napas kasar.

“Percuma, Bu. Dia gak bakalan ngomong apa-apa.”

Nada suaranya ketus, tapi terdengar getir.

Rafka tak bereaksi.

Tak menoleh. Tak membantah. Bahkan tak peduli. 

Ia hanya duduk dengan punggung sedikit membungkuk, sorot matanya kosong, menatap lantai seolah ada sesuatu di sana yang lebih layak diperhatikan daripada siapa pun di ruangan itu.

Bu Dwi menghela napas kecil.

Sekilas, tangannya mengepal di atas meja, lalu kembali tenang.

Tatapannya kembali berpindah dari Satrio ke Rafka, tanpa berkata apa pun.

Ia lalu menggeser duduknya. Suaranya melembut, seolah mencoba menembus celah kecil di balik dinding yang dibangun Rafka.

“Rafka... Ibu tahu ini bukan pertama kalinya kamu buat masalah.”

Rafka perlahan mengangkat kepala.

Tatapannya datar, tapi di balik itu tersimpan amarah. Dingin, tak meledak, tapi hidup. Seperti bara yang tak pernah padam.

Bu Dwi terdiam. Ingatannya melayang pada pertemuan mereka sebelumnya—tentang Rafky, tentang luka lama yang belum benar-benar sembuh.

Keheningan menggantung terlalu lama.

Bu Dwi akhirnya bersandar ke kursinya. Napasnya pelan, tapi dalam, seolah sedang menahan sesuatu sebelum akhirnya bicara.

“Ibu tidak peduli siapa yang mulai. Atau siapa yang lebih salah,” ucapnya. Suaranya tenang, tapi tegas.

“Tapi kekerasan bukan cara untuk menyelesaikan masalah.”

Tak ada yang menyela.

“Mulai besok, kalian berdua diskors tiga hari.”

Satrio menghela napas pendek, nyaris seperti tawa pahit.

Lihat selengkapnya