Rafka berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang kusut.
Sudut bibirnya pecah dan lebam, Ia mengoleskan krim secara asal, untuk menyamarkan bekasnya.
Lalu tangannya turun perlahan, menyentuh balutan perban di pergelangan kirinya.
Luka itu masih baru.
Perihnya terasa menusuk. Perban yang ia lilitkan semalam kini basah di beberapa bagian, menempel pada kulit yang nyeri.
Tapi ia tak meringis.
Hanya menunduk sebentar… lalu menarik lengan bajunya untuk menutupinya rapat-rapat.
Ia kembali duduk di tepi ranjang. Diam.
Jemarinya meremas lutut, matanya kosong menatap lantai—seolah di sana tersimpan jawaban yang tak pernah ia temukan.
Hari ini, ia membohongi ayahnya.
Alasannya: demam ringan.
Padahal yang sebenarnya terjadi jauh lebih parah—
ia diskors dari sekolah.
Dan jika kebenaran itu sampai terbongkar, segalanya akan berubah jadi bencana.
Suara ketukan terdengar dari balik pintu.
Rafka buru-buru merebahkan diri, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Ia menarik napas dalam, lalu menahannya.
Ketukan itu terdengar lagi, lebih pelan.
Lalu… pintu terbuka.
“Raf… gue masuk, ya.”
Rafky melangkah masuk dengan ragu, membawa segelas air dan sekotak obat penurun panas.
Pandangan matanya jatuh pada tubuh Rafka yang masih terbaring, tersembunyi di balik selimut.
“Lo beneran sakit?” tanyanya pelan. Nada suaranya datar, tapi ada sedikit kekhawatiran yang terselip di ujungnya.
Tak ada jawaban.
Rafka tetap memunggunginya, pura-pura tak mendengar.
Ia menarik selimut lebih tinggi, seolah ingin menghilang dari dunia.
Rafky melangkah pelan, meletakkan segelas air dan obat di meja kecil di samping ranjang.
Lalu, tanpa suara, ia mengulurkan tangan—menempelkan telapaknya ke dahi Rafka.
“Apaan, sih!”
Rafka menepis dengan kasar, seolah sentuhan itu sudah cukup membuatnya muak.
Rafky mengatupkan rahangnya rapat.
“Gue cuma mau ngecek,” ucapnya datar. “Tadi Ayah nanya—lo beneran demam atau gak. Gue bilang iya, lo demam.”
Hening sesaat.
“Bagus.”
Suara Rafka akhirnya terdengar, serak dan dingin.
“Lo emang paling jago… kalau soal pura-pura.”
Rafky menghela napas panjang.
Tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah menahan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap.
Ia mundur selangkah, tapi pandangannya tetap tertuju ke punggung Rafka.
“Maksud lo apa?” suaranya mulai meninggi. “Lo pikir gue suka bohongin Ayah?”
Napasnya memburu, nadanya bergetar samar.
“Lo pikir gue gak capek? Terus-terusan pura-pura kayak gak ada masalah?”
Rafka tak menjawab. Matanya terpejam di balik selimut, tapi napasnya memburu—pelan.
Rafky menunduk. Jemarinya menekan pelipis, mencoba meredam emosi yang mulai meledak dari dalam dirinya.
“Coba, Raf…” Suaranya lebih pelan, tapi berat.