Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #14

BAB 7 - Pintu yang Mulai Terbuka (Bagian I)

Langit pagi tampak kelabu di balik jendela kelas.

Angin berembus melalui kisi-kisi, menggerakkan tirai tipis tanpa suara.

Cahaya samar merayap ke dalam, menyentuh meja-meja yang masih sepi.

Nayla duduk membungkuk sedikit, dagunya bertumpu di tangan. Tatapannya jatuh ke bangku kosong di barisan belakang, tempat yang biasanya diisi oleh sosok yang kini justru lebih terasa lewat ketidakhadirannya.

Hari ketiga. Rafka masih diskors.

Entah kenapa, keheningan pagi itu terasa ganjil, bukan sunyi yang menenangkan, tapi semacam kehampaan yang menggantung di udara. 

Pikirannya melayang ke pertemuan tak terduga sore kemarin, ucapan yang menyayat, tatapan yang tajam.

Seolah menolak, tapi diam-diam ingin dimengerti. 

Lo gak tahu apa-apa tentang gue. Tentang kehilangan.

Suara itu masih bergema, tajam namun getir, menancap di tempat yang sulit dijangkau.

Nayla menghela napas pelan, membuka buku catatan… hanya untuk menatap halaman kosong.

Tangannya sempat menulis beberapa kata, lalu menghapusnya. Menulis lagi. Dihapus lagi.

Di sebelahnya, kursi bergeser pelan. Citra sudah duduk sejak tadi, tapi baru sekarang bersuara—pelan, hampir menyatu dengan heningnya kelas.

“Lo masih mikirin dia?” bisiknya, sambil melirik ke arah Nayla.

Nayla tak langsung menjawab. Tapi sorot matanya yang masih tertuju pada kursi kosong itu, cukup untuk menjelaskan semuanya.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Langit siang menggantung pucat di atas halaman belakang rumah. Angin hanya sesekali lewat, membawa aroma debu dan rumput kering yang belum sempat dipangkas.

Rafka duduk membungkuk, punggungnya bersandar pada dinding kusam.

Sebatang rokok tergenggam di tangan kanannya.

Belum sempat diisap, tapi bara kecil di ujungnya tetap menyala—seperti sisa napas yang enggan padam.

Ia menatap api itu lama. Diam.

Seolah sedang bercakap dalam sunyi, berharap nyala kecil itu bisa membakar keresahan dalam hatinya. 

Suara Nayla kembali menggema di kepalanya.

Pelan… dan getir.

Aku dibesarin di panti, Raf. Aku bahkan nggak tahu siapa orang tuaku…

Selama ini, Rafka selalu merasa dunia menolaknya—menganggap dirinya korban dari hidup yang tak adil. Tapi kini, kata-kata Nayla mengguratkan sesuatu yang baru dalam dirinya.

Ia menunduk.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar…

Ada orang lain di dunia ini yang bahkan tidak pernah diberi kesempatan untuk ditolak.

Nayla tak kehilangan siapa pun—karena sejak awal, tak ada yang bisa ia genggam.

Bukan luka karena kehilangan. Tapi luka karena ketiadaan.

Rafka memejamkan mata.

Mengembuskan napas panjang, seperti mencoba mengusir sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Lalu, dengan jemari yang gemetar, ia menekan rokoknya ke tanah, memadamkan bara yang belum sempat padam, seperti rasa bersalah yang baru saja mulai ia kenali.

Pikirannya kusut.

Ia membuka layar ponsel, jempolnya berhenti di atas kolom pesan.

Ingin menulis sesuatu, apa saja—untuk Nayla.

Tapi…

Ia tidak punya nomornya. Bahkan namanya pun belum tahu.

Perlahan, ia menutup layar. Sunyi kembali mengisi celah yang tadi nyaris terisi.

Ia menarik napas, mencoba mengusir perasaan yang menggantung. Tapi sebelum benar-benar tenggelam kembali dalam diam, Rafka menangkap bayangan seseorang yang mendekat. 

Langkah pelan. Tak tergesa. Tapi terasa familiar.

Rafky.

Tanpa berkata apa pun, kakaknya meletakkan sekotak tempura dan krim luka di sampingnya.

Perlahan. Tanpa suara. 

Rafka tak menoleh. Tapi matanya mengikuti gerakan itu, diam, kaku, tak tahu harus bereaksi bagaimana.

Tak ada sapaan, apalagi percakapan. 

Hanya sunyi, yang terasa lebih keras dari teriakan mana pun.

Rafky berbalik dan pergi. Tapi kali ini, punggungnya tampak sedikit membungkuk—seperti seseorang yang terlalu lama menyimpan sesuatu sendiri.

Rafka tetap duduk.

Tapi saat bayangan kakaknya menjauh, jemarinya bergerak pelan, menarik kotak tempura itu sedikit lebih dekat.

Ia menatapnya sejenak, lalu menunduk.

Sederhana. Tapi entah kenapa, justru hal kecil itu yang membuat dadanya terasa sesak.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Malam turun tanpa suara, menyelimuti rumah itu dalam bayangan yang tak nyaman.

Lampu ruang tengah menyala temaram, menyoroti selembar kertas yang tergeletak di atas meja makan.

Lihat selengkapnya