Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #15

BAB 7 - Pintu yang Mulai Terbuka (Bagian II)

Langit pagi masih abu-abu ketika Rafka berdiri di depan gerbang sekolah.

Matanya sembab. Kantung hitam tergambar jelas di bawahnya. Semalaman ia tak bisa tidur. Ucapan ayahnya terus berdengung di kepalanya, seperti luka yang terus dikupas berulang kali.

Rafka menarik napas panjang, tapi dadanya justru makin sesak.

Ia tak ingin ke sekolah. Tapi diam di rumah hanya akan menenggelamkannya lebih dalam.

Di sini, setidaknya… ia bisa mengalihkan pikiran.

Berjalan tanpa arah. Duduk tanpa suara.

Atau berpura-pura hidup—seolah semuanya baik-baik saja.

Langkahnya belum bergerak.

Ia hanya berdiri mematung di depan gerbang.

Beberapa siswa melintas. Ada yang sempat melirik, tapi tak satu pun menyapa. Dan Rafka lebih memilih begitu.

Di kejauhan, Nayla baru saja turun dari angkot dan menapaki trotoar kecil menuju sekolah. Langkahnya sempat melambat ketika melihat Rafka berdiri di sana—sendiri, dengan raut yang jauh lebih pucat dari biasanya.

Ia menatapnya sebentar.

Ragu.

Lalu melanjutkan langkah, pura-pura tidak peduli, tapi dalam dadanya ada sesuatu yang mencelos. Seperti melihat seseorang yang perlahan tenggelam tapi tidak minta tolong.

Sementara itu Rafka masih belum beranjak.

Kepalanya tertunduk, tangan dimasukkan ke saku jaket.

Sekilas, matanya bergerak—melirik Nayla yang lewat. Tapi tak ada sapaan. Hanya diam yang kembali jadi kebiasaannya.

Dan gerbang itu seperti batas yang tak mudah ia langkahi.

Antara dunia yang selalu ia benci...

dan dunia yang diam-diam tetap ia butuhkan.

⋇⋆✦⋆⋇

Lorong menuju kelas terasa lebih sunyi dari biasanya.

Suara langkah sepatu dan bisik-bisik pelan sesekali terdengar, bercampur bau seragam yang baru dicuci dan debu dari lantai yang belum dipel.

Nayla berjalan seorang diri, buku-buku dipeluk erat di dada. Wajahnya tertunduk, tapi langkahnya mantap—setidaknya, ia mencoba terlihat begitu.

Sampai suara tawa kecil menghentikan langkahnya.

“Eh, lo Nayla, kan?”

Perlahan, Nayla mengangkat wajah.

Tiga siswi dari kelas sebelah berdiri di depannya.

Yang paling mencolok—berambut lurus sebahu, pita hitam di kepala, dan senyum lebar yang mengembang seperti bunga plastik: cantik, tapi dingin. 

Donna.

Tatapannya tajam, seperti sedang membaca ulang catatan lama yang mestinya tetap terkunci.

“Lo inget Lala, nggak?” tanya Donna, suaranya manis tapi penuh racun. “Katanya dulu satu sekolah sama lo.”

Nayla refleks terhenti. Tubuhnya kaku.

Seketika, wajah Lala—pelaku utama yang membuatnya pindah sekolah, muncul di kepalanya seperti bayangan mimpi buruk yang tak pernah benar-benar hilang.

Buku-buku di pelukannya nyaris tergelincir dari genggaman. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi yang mulai retak.

Donna tersenyum puas melihat reaksinya.

“Dia pernah cerita… katany lo anak panti, ya? Bener?”

Nayla tak menjawab. Tapi sorot matanya berubah—terluka, tapi mencoba bertahan.

“Pantes aja lo keliatan beda,” lanjut Donna, melangkah mendekat.

“Nggak kayak kita yang tumbuh bareng keluarga. Lo sendirian dari kecil, kan?”

Ia menunduk sedikit, seolah ingin melihat wajah Nayla lebih jelas.

“Pasti nggak pernah ngerasain disayang, ya?”

Tawa pelan terdengar dari salah satu temannya.

Donna melanjutkan, dengan nada manis yang terdengar dibuat-buat.

“Kuat banget sih,” sindir Donna lagi.

“Nggak punya siapa-siapa, tapi masih bisa ceria tiap hari. Hebat juga ya, bisa hidup kayak gitu.”

Sesuatu di dalam dada Nayla mendesak naik. Matanya menghangat, tapi ia menggigit bibir, menolak menunjukkan kelemahan.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari arah belakang Donna.

Lihat selengkapnya