Langit siang tampak cerah dari balik sela atap sekolah. Angin berembus pelan, membawa suara kelas yang samar, juga tawa anak-anak dari lapangan basket yang tak jauh dari sana.
Lana berdiri di balkon lantai dua. Kedua tangannya bertumpu pada pagar besi yang mulai berkarat. Dari atas sana, ia bisa melihat halaman kecil yang ramai oleh langkah-langkah tergesa murid-murid yang berlalu-lalang di sela pergantian jam.
Di antara keramaian itu, matanya menangkap satu sosok yang bergerak dengan ritme berbeda—pelan, tenang, seolah sedang memikul beban yang tak terlihat.
Nayla.
Dan tak lama, Rafka muncul dari arah berlawanan.
Langkahnya tenang seperti biasa. Tapi ada yang berbeda di wajahnya…
Bukan senyum. Bukan ekspresi ramah.
Hanya sorot mata—yang berubah begitu melihat Nayla.
Sejenak, mereka hanya saling melintas. Tanpa bicara. Tanpa menoleh.
Tapi Lana menangkapnya.
Langkah Rafka yang mendadak melambat.
Sorot matanya yang tak lagi kosong saat menyapu punggung Nayla.
Dan bahunya yang sempat menegang, lalu melonggar seperti ada kata yang ingin keluar, tapi urung diucapkan.
Gerakan kecil, yang tak akan disadari siapa pun...
kecuali seseorang yang diam-diam masih menyimpan perasaan.
Ada sesuatu yang bergerak di antara dua orang itu.
Bukan kata, bukan sentuhan… hanya sunyi, tapi terlalu nyata untuk diabaikan.
Lana berkedip pelan. Hatinya berdesir aneh.
Ia sudah terlalu lama mengenal Rafka.
Cukup lama untuk tahu, bahwa tatapan tadi…
bukan sekadar tatapan biasa.
Lana menarik napas pelan, menahan sesak yang belum sempat berubah jadi air mata.
“Lagi liat apa, sih? Serius banget.”
Suara itu datang dari belakang.
Lana menoleh cepat. Satrio muncul di sana, membawa dua kotak susu cokelat yang masih dingin.
Lana mengerjap, sedikit terkejut.
“Satrio… Lo ngapain ke sini?”
Satrio menyodorkan kotak susu sambil tersenyum jahil.
“Nih, khusus gue bawain,” katanya. “Obat mujarab buat overthinking sama nyeri hati ringan.”
Lana terkekeh kecil, lalu mengambil kotak susu itu dari tangan Satrio.
“Duh… lo tuh ya,” ucapnya sambil tersenyum, “bisa aja bikin gue ketawa walaupun lagi bete.”
Ia menyeruput pelan, lalu menoleh ke arah Satrio.
“Makasih, ya. Lo emang paling jago balikin mood gue.”
Satrio tertawa kecil, menyesap susu dari sedotannya lalu mengangkat alis, pura-pura bangga.
“Ya iyalah. Gimana mau dapetin hati lo kalo balikin mood aja gak bisa?”
Nada suaranya santai, tapi matanya menatap Lana sedikit lebih lama, ada sesuatu di sana, yang tak ia ucapkan, tapi cukup terasa.
Ia tertawa lagi, pelan, seolah mencoba mengalihkan.
“Tapi jangan harap gue bisa balikin hati lo... yang udah keburu lo kasih ke orang lain.”
Lana tertawa kecil, tapi senyumnya cepat memudar. Tatapannya bergeser—melewati Satrio, menembus sela pagar balkon, menatap langit yang terlalu biru untuk hati yang sedang kelabu.
“Kadang gue berharap… semuanya bisa sesimpel itu,” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Satrio menoleh pelan.
“Maksud lo?”
Lana menggeleng. Cepat-cepat menyesap susu dari kotaknya, seolah ingin membungkam rasa pahit yang tak sempat ia ucapkan.
Tapi sekuat apa pun ia menahan, tetap saja…
Beberapa hal tak bisa ditutupi oleh senyuman.
Termasuk rasa yang belum selesai.
Satrio diam. Ia tak bertanya lagi, tapi tatapannya cukup memberi tahu bahwa ia mengerti, meski hanya sebagian.
Angin siang menyapu pelan, membuat helai rambut Lana terangkat sedikit. Ia menunduk, menatap kotak susu di tangannya, seolah ada jawaban di sana.
“Yo… pernah nggak sih… lo ngerasa kayak lagi nyimpen perasaan buat orang yang bahkan nggak pernah nyari tahu apa isi hati lo?”
Pertanyaan itu lolos begitu saja. Suaranya pelan, nyaris tertelan angin. Tapi Satrio mendengarnya.