Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #17

BAB 8 - Dua Masa, Tiga Rasa, Satu Ikatan (Bagian II)

Pagi itu sunyi.

Tak ada bunyi bel, tak ada jejak sepatu, tak ada tawa yang biasa mengisi udara.

Tapi di dalam kepala Lana, gema dari hari kemarin belum juga hilang.

Ia duduk di tepi ranjangnya, memeluk lutut sambil menatap layar ponsel yang sejak tadi menyala—nama Citra masih terpampang di daftar panggilan terakhir.

Sudah berulang kali jarinya melayang di atas ikon hijau, tapi selalu ragu untuk menekan.

Entah takut terdengar rapuh, atau karena tidak tahu harus mulai dari mana.

Dadanya terasa penuh, seperti ada yang mendesak keluar.

Akhirnya, dengan napas yang sedikit bergetar, ia menekan tombol itu.

Sambungan berdengung, hanya dua kali nada tunggu sebelum telepon diangkat.

“Halo?” Suara Citra terdengar serak—mungkin baru bangun.

“Cit, hari ini lo sibuk, nggak?”

“Libur, Lan. Mau disuruh nyapu istana juga gue tetap libur. Emang kenapa?”

Lana tersenyum kecil. Tapi tak langsung menjawab. Diamnya justru terasa lebih berat daripada kata-kata.

Citra ikut terdiam sesaat, lalu suaranya berubah serius.

“Lo kenapa?”

Lana menarik napas pelan.

“Gue butuh temen ngobrol. Bisa ketemu sebentar?”

“Di mana?”

“Tempat biasa.”

“Gue otw.”

Lana menatap layar yang kembali gelap.

Di luar, matahari mulai naik. Tapi hatinya masih terasa seperti sisa hujan semalam—dingin, lembap, dan belum juga mengering.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Tempat itu tidak pernah ramai.

Sebuah kedai kecil di pinggir jalan, dengan bangku kayu panjang, aroma kopi instan, dan radio tua yang kadang memutar lagu lawas.

Lana duduk di kursi dekat jendela, menatap segelas cokelat panas yang menguap pelan. Tangannya sibuk memutar sendok kecil, seolah berharap pikirannya ikut larut bersama uap yang perlahan menghilang.

Tak lama, terdengar langkah mendekat.

Sorry telat,” ujar Citra sambil menarik kursi di depannya.

“Tadi nyari parkiran ribet banget.”

Ia duduk, melepas jaketnya asal, lalu langsung menyeruput es teh manis yang sudah Lana pesan.

Lana mengangguk kecil. 

“Nggak apa-apa, Cit. Thanks udah dateng,”

ucap Lana, singkat.

“Ya ampun, lo kenapa, sih?” Citra menyipitkan mata, kepalanya sedikit miring.

“Muka lo kayak abis maraton One Piece 1000 episode.”

Lana menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Tatapannya bertemu mata Citra yang hangat, penuh perhatian.

“Gue denger sesuatu kemarin…” bisiknya.

Citra tidak menyela, hanya menunggu.

Lana menunduk sedikit, suaranya nyaris tenggelam.

“Soal Rafka. Sama Satrio.”

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa yang tiba-tiba kembali naik ke tenggorokan.

“Mereka nggak tau kalau gue ada di situ. Tapi gue denger semuanya. Dan... obrolan itu bikin harapan yang selama ini gue bangun, runtuh gitu aja.”

Lihat selengkapnya