Hari itu, langit digelayuti awan kelabu. Matahari seolah enggan muncul, dan angin berembus pelan membawa hawa lembap yang menggantung di udara. Sekolah terasa lebih senyap dari biasanya—seolah semua orang menunggu sesuatu yang akan turun dari langit.
Dan benar saja.
Begitu bel pulang berbunyi, hujan turun deras tanpa aba-aba. Suara langkah tergesa, jeritan kecil, dan derap payung-payung terbuka memenuhi koridor depan sekolah.
Tapi tidak semua ikut dalam keramaian itu.
Di lorong yang sepi, Rafka bersandar di dinding, tangan di saku jaket, menatap hujan yang memantul di atas tanah.
Ia tak terburu-buru. Tak juga tampak menunggu siapa pun. Hanya diam, seolah dunia di sekitarnya bukan urusannya.
Lalu…
“Seandainya aja, ada yang bawa payung,” suara itu terdengar ringan di sampingnya, “kita nggak perlu jadi patung kayak gini, kan?”
Rafka menoleh sekilas. Tatapannya tenang, tapi ada raut bingung yang melintas singkat sebelum kembali menatap hujan.
Di sampingnya, Nayla berdiri sambil menggenggam tali tas. Senyum tipis menghias wajahnya, seolah terbiasa tak direspons, tapi tetap memilih untuk mencoba.
Beberapa detik sunyi, sebelum Nayla membuka ritsleting tasnya, lalu mengeluarkan payung lipat berwarna kuning.
Tanpa berkata apa pun, ia membukanya perlahan.
“Ayo,” ucapnya canggung, sambil menarik sedikit lengan jaket Rafka—tak yakin, tapi tetap mencoba.
Rafka sempat menoleh, tampak bingung, tapi ia tak menolak.
Dan sebelum ia benar-benar sadar apa yang terjadi, kakinya sudah ikut melangkah bersama Nayla, di bawah payung kecil yang goyah di antara angin dan derasnya hujan.
Langkah mereka pelan, ragu, tapi tetap beriringan.
Hujan masih turun deras, memantul di genangan aspal.
Di bawah payung yang terlalu kecil itu, bahu mereka sesekali saling bersentuhan, membuat Nayla buru-buru menggeser posisi, dan Rafka berpura-pura tak peduli padahal napasnya sedikit tak beraturan.
Hening mengisi langkah mereka. Nayla mencuri pandang, lalu bertanya lirih, nyaris tenggelam oleh suara hujan,
“Kamu selalu sendiri, ya?”
Rafka tak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke depan, kosong.
“Kayaknya... nggak banyak yang berani deketin kamu,” lanjut Nayla pelan. “Tapi aku nggak takut, sih.”
Langkah Rafka melambat. Matanya menajam, meski tak menoleh.
“Jangan sok tau,” sahutnya datar. Tapi nada suaranya terdengar goyah.
Nayla tersenyum kecil.
“Makanya... aku pengin tahu. Sedikit aja. Tentang kamu.”
Tiba-tiba, Rafka berhenti.
Hujan di depan mereka semakin deras, menciptakan tirai air yang padat di pelataran sekolah.
Tanpa sepatah kata, ia keluar dari naungan payung.
“Gak usah ikutin gue.”
Nayla terkejut. “Rafka…”
Tapi Rafka sudah berjalan pergi, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya.
Payung Nayla masih terbuka. Tapi langkahnya terhenti.
Dan dari balik derasnya hujan, ia melihatnya—Rafka yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini berjalan dengan bahu sedikit menegang…
Seolah ia bukan sedang menjauh dari Nayla,
tapi sedang lari… dari dirinya sendiri.
⋇⋆✦⋆⋇
Pagi itu, kelas terasa lebih pengap dari biasanya. Udara tidak mengalir dengan baik, dan cahaya dari luar tampak redup tertahan awan mendung yang menggantung di langit.
Rafka duduk di bangkunya, kepala bersandar ke dinding, kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya menggigil meski tak ada angin, dan pelipisnya berdenyut hebat sejak bel pertama berbunyi.
“Rafka, coba jawab soal nomor empat,” ujar Bu Hesti dari depan kelas.
Ia mengangkat kepala perlahan. Suara itu terdengar samar, seperti dipanggil dari kejauhan. Rafka memicingkan mata, melihat tulisan di papan tulis yang seolah menari. Dengan sisa kesadaran, ia menyebutkan jawabannya, asal, tapi cukup terdengar tegas untuk membuat gurunya mengangguk dan melanjutkan.
Nayla yang duduk tak jauh di depannya memperhatikan. Ia melihat bahu Rafka turun naik dengan napas berat, dan tangan kirinya sesekali memegang dahi.
Jam istirahat tiba.
Suara kursi diseret dan langkah-langkah tergesa menuju kantin memenuhi kelas. Tapi Rafka tetap di tempatnya, bersandar lemas di dinding.
Nayla sempat melirik dan bertanya pelan,
“Raf? Kamu sakit?”
Ia tidak menjawab.
Beberapa detik kemudian, Rafka berdiri dengan susah payah dan berjalan keluar. Tapi belum jauh dari pintu kelas, tubuhnya mulai limbung.
Nayla yang tadinya hendak menyusul sontak menahan napas.
Di tengah lorong, Rafka berhenti, satu tangan menumpu di dinding, bahunya oleng.
“Raf—”
*Bruk.
Tubuh Rafka ambruk ke lantai.
Suara tubuhnya jatuh membuat beberapa siswa di lorong berhenti, lalu panik. Satu berlari memanggil guru, yang lain mendekat, bingung harus berbuat apa.
Nayla sontak berjongkok di sampingnya, wajahnya tegang.