Hari itu, Rafka masih belum masuk sekolah. Sudah dua hari sejak ia absen, dan menurut Bu Dwi, demamnya masih belum turun.
Sebelum pulang, Bu Dwi menghampiri Nayla dan menyerahkan map tipis berisi tugas dan materi untuk UTS.
“Tolong antar ini ke rumah Rafka, ya,” kata Bu Dwi sambil menyerahkan mmap
“Ibu rasa, cuma kamu yang mau dia temui sekarang.”
Nayla mengangguk pelan. Ia sempat ragu, mengingat sikap Rafka yang juga selalu dingin padanya. Tapi meski hatinya belum yakin, kakinya tetap melangkah menuju rumah itu.
⋇⋆✦⋆⋇
Gerimis masih turun saat Nayla berdiri di depan pagar rumah Rafka. Setelah menekan bel, ia menarik napas pelan membiarkan udara lembap masuk ke dadanya.
Pintu terbuka. Rafky muncul dengan hoodie kusut dan rambut yang sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap ramah.
“Nayla, ya?” sapanya santai. “Masuk aja. Sorry kalau berantakan. Maklum, cowok semua.”
Nayla mengangguk kecil.
“Nggak apa-apa, Kak,” ucapnya pelan sambil memeluk map di dadanya.
Saat mereka masuk, Rafky menoleh sekilas.
“Tenang, Bokap lagi gak di rumah. Jadi… lo aman.”
Ucapan itu sempat membuat Nayla terdiam sesaat, tapi ia hanya tersenyum kecil, pura-pura tak paham maksud di baliknya.
Rafky melirik jam di dinding, lalu berkata santai,
“Gue anter ke kamar Rafka aja, ya. Soalnya tadi dia masih tidur.”
Nayla mengangguk pelan, lalu mengikuti Rafky menaiki tangga.
Sesekali, pandangannya menyapu ke sekeliling, dinding rumah dipenuhi rak buku dan figura, lemari kaca menampilkan deretan piala dan medali berdebu, dan di ujung tangga, beberapa jaket tergantung seadanya. Suasana rumah itu terasa hidup, tapi juga menyimpan sepi yang tak bisa dijelaskan.
Sesampainya di depan kamar, Rafky mengetuk pelan.
“Raf… temen lo dateng, nih,” gumamnya, nyaris seperti bisikan.
Tak ada jawaban dari dalam.
Rafky sempat melirik Nayla, lalu kembali menatap pintu.
“Gue masuk, ya,” ucapnya pelan, lalu mendorong pintu perlahan.
Udara dingin langsung menyambut dari celah ruangan.
Tirai tertutup rapat, menahan cahaya masuk.
Meja belajar tampak berantakan, lembaran kertas berserakan, dan baju-baju menumpuk sembarangan di sandaran kursi.
Di atas ranjang, Rafka terbaring membelakangi pintu. Diam. Nyaris tak bergerak.
Hanya rambut acaknya yang terlihat dari balik selimut.
“Gue tinggal dulu, ya,” kata Rafky sambil menoleh ke Nayla.
“Kalau dia nyolot, cuekin aja. Biar sakit juga, tetep aja galak.”
Ia terkekeh sebentar, lalu menepuk bahu Nayla pelan sebelum turun kembali ke bawah.
Di kamar yang redup, suasana nyaris beku. Hanya detak jarum jam dan rintik gerimis dari luar jendela yang mengisi keheningan.
Nayla masih berdiri kikuk di dekat pintu, memeluk map tugas.
Langkahnya ragu, seolah udara dingin di ruangan menambatkan kakinya.
Di ranjang, tubuh Rafka tiba-tiba bergerak. Ia menggeliat pelan, satu tangan mengusap wajah, lalu berpindah menutupi mata dari cahaya samar yang menyusup lewat celah tirai.
Perlahan ia berbalik… dan membeku.
Pandangan matanya langsung menangkap sosok Nayla yang berdiri canggung di dekat rak buku. Seketika, sorot matanya mengeras.
“…Ngapain lo di sini?” suara Rafka serak, datar, tapi tajam, seperti baru bangun dari tidur panjang tapi tetap tak kehilangan sikap galaknya.
Ia langsung bangkit duduk. Gerakannya sempat limbung, tapi buru-buru disamarkan dengan menarik selimut hingga ke pinggang, lalu bersandar ke dinding. Tatapannya tajam, alis berkerut, wajah masam, seolah kehadiran Nayla adalah gangguan yang tak diundang.
Nayla membuka suara pelan,
“Aku cuma disuruh Bu Dwi nganter tugas. Sekalian ngecek, kamu masih hidup atau enggak,” jawab Nayla setengah bercanda.
“Repot banget, pake dianterin segala,” potong Rafka cepat. Rahangnya mengeras, pandangannya sengaja dialihkan ke jendela, menolak kontak mata.
Tangannya meremas lipatan selimut, entah karena kesal, malu, atau tak nyaman dilihat dalam kondisi selemah ini.
Seolah, ia lebih memilih terlihat menyebalkan… daripada terlihat rapuh.
Nayla diam sejenak. Wajahnya tampak kebingungan. Ia tidak berkata apa pun lagi, hanya menunduk, lalu melangkah pelan ke meja belajar dan meletakkan map tugas di atas tumpukan buku yang berserakan.
Rafka mendengus pelan. Ia duduk lebih tegak, mengibaskan selimut dari kakinya, lalu bergeser malas ke tepi ranjang. Satu tangannya terulur ke meja kecil di samping tempat tidur, meraih botol air.
Dan saat itulah Nayla melihatnya.
Wristband hitam yang biasanya melingkar di pergelangan kirinya—tidak ada.
Dan untuk beberapa detik pandangannya terpaku pada bekas luka samar di kulit Rafka. Tidak dalam. Tapi cukup banyak dan terlihat jelas.