Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #20

BAB 10 - Kepercayaan dan Sebuah Janji (Bagian I)

Cahaya pagi jatuh lembut di lantai koridor, memantul samar di ubin putih yang masih sepi. Langkah Nayla nyaris tak bersuara, menyusuri lorong panjang yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Langkahnya terus bergerak di lorong lantai atas yang lengang, ketika suara itu menyusul dari belakang, lantang dan penuh sindiran. 

“Eh, eh, liat deh,” ujar Donna, dengan nada tinggi yang sengaja dikeraskan.

“Ada yang sok polos, padahal diem-diem ngerebut cowok orang.”

Nayla berhenti melangkah, tapi tetap menunduk.

Langkah kaki Donna dan dua temannya mendekat, suara sepatu mereka bergema di koridor lengang, disertai tawa kecil yang terdengar seperti cemoohan.

Donna berdiri di depan Nayla, dagunya terangkat, tangan bersedekap.

“Gue heran deh, Nay. Lo pikir, kalau sering deketin Rafka terus pura-pura peduli, dia bakal jatuh cinta sama lo?”

Nayla masih diam. Kepalanya menunduk. Bahunya tegang.

“Lana yang perfect aja ditolak sama dia…” katanya sambil memainkan ujung rambutnya, matanya menyapu Nayla dari atas sampai bawah dengan tatapan jijik.

“Apalagi lo, yang tiap hari kumel, kayak nggak pernah ngaca. Anak panti pula.”

Ia mendengus pelan.

Iyuh. Najis.”

Satu kalimat itu menghantam lebih dalam dari yang lain, seolah membuka luka yang belum sempat kering.

Nayla mengepalkan tangannya. Jemarinya dingin, menggigil, tapi ia tetap diam. Tak membalas. Tak menangis.

“Aku nggak…” gumamnya nyaris tak terdengar—terlempar ke udara dan tenggelam di antara gelak tawa yang memekakkan.

Donna tertawa kecil, sinis.

“Cih, gak usah alesan deh. Lo itu cewek gak jelas yang suka caper ke mana-mana.”

Tak ada yang menimpali, tapi Nayla bisa merasakan tatapan mereka. Tajam. Diam-diam menusuk dari segala arah, seperti duri yang tak terlihat.

Ucapan Donna terus menghantam, dingin dan berulang, seperti hujan batu yang tak memberinya ruang untuk berlindung.

Tapi Nayla tetap berdiri di tempat. Meski tubuhnya mulai bergetar pelan nyaris tak terlihat, tapi cukup terasa.

Air matanya mendesak naik. Tapi ia menahannya sekuat tenaga. 

Bukan karena tak sakit. Justru karena luka itu sudah terlalu akrab, dan ia tak ingin mereka melihatnya jatuh. 

Setelah puas mencemooh, Donna dan kedua temannya akhirnya pergi, tertawa seolah baru saja memenangkan sesuatu. Suara sepatu mereka memudar di lorong, meninggalkan Nayla sendirian.

Ia masih berdiri di sana beberapa detik, seperti patung yang rapuh tapi memaksa tetap tegak.

Lalu perlahan, ia berbalik. Langkah kakinya menyeret pelan menuju tangga darurat. Tak ada siapa pun. Hanya tembok dingin dan suara angin dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Nayla terduduk di anak tangga paling atas. Kepalanya tertunduk, rambutnya menutupi wajah. Matanya sembab—bukan karena menangis, tapi karena terlalu keras menahan agar tak menangis.

Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri.

Apa benar semua ini salahku?

Apa aku memang cuma pengganggu?

Atau cuma orang menyedihkan yang numpang hidup?

Genggaman tangannya mengeras di atas lutut. Ujung kukunya menekan ke kulit, perih…

tapi setidaknya itu cukup mengalihkan sedikit dari rasa sakit yang lain.

Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu—ia ingin menghilang.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Dua hari terakhir, sekolah terasa berbeda bagi Rafka.

Bukan karena ia baru kembali setelah absen, atau karena guru yang makin rajin memberi tugas. Tapi karena sesuatu yang biasanya hadir tanpa diminta… kini menghilang tanpa penjelasan.

Nayla.

Biasanya, gadis itu akan duduk tak jauh darinya saat jam istirahat—membuka bekal dengan ragu-ragu, atau sekadar duduk sambil mencoret-coret halaman belakang buku. Kadang diam, kadang sok berani menyapa. Tapi selalu ada.

Lihat selengkapnya