Setelah kelas terakhir bubar, Nayla berjalan sendirian di lorong lantai satu menuju ruang BK.
Langkahnya bergema pelan di lorong yang mulai sepi. Cahaya sore merambat masuk lewat sela jendela, menorehkan gurat cahaya hangat di lantai. Ranselnya menggantung di bahu, bergoyang ringan setiap kali ia melangkah.
Saat melewati mading, ia sempat melirik sekilas. Ada selebaran berwarna biru terang yang baru ditempel, tampak mencolok dengan judul besar:
OLIMPIADE FISIKA TINGKAT NASIONAL – Seleksi Tahap Awal Dimulai Minggu Depan.
Nayla belum sempat membaca lebih jauh ketika suara dua guru terdengar dari arah tangga. Suaranya tidak keras, tapi cukup jelas di lorong yang mulai lengang.
“Kalau Rafky masih di sini, mungkin dia yang maju lagi tahun ini,” gumam salah satu guru.
“Iya, anak itu emang jenius,” sahut guru yang lain sambil mengangguk.
“Tiga tahun berturut-turut kita tembus final… juara terus karena dia.”
Keduanya tertawa kecil, lalu guru pertama menambahkan, nadanya setengah mengeluh,
“Sayang, ya, adiknya beda. Coba kalau Rafka bisa kayak kakaknya, sekolah kita bakal terkenal lagi, karena rekor yang bertahan.”
Nayla berhenti beberapa langkah dari mereka.
Kata-kata itu menyelinap masuk ke telinganya, dan mengendap di dadanya, menggumpal seperti udara dingin yang sulit diembuskan.
Nayla menunduk sedikit, pura-pura tak mendengar, tapi hatinya terasa aneh. Bukan karena apa yang mereka katakan, tapi karena siapa yang mereka bicarakan, dan cara mereka menyebutnya, seolah itu nama yang tak penting.
Ia tak tahu kenapa, tapi tiba-tiba dadanya terasa sesak.
Dan nama Rafka terus berputar di kepalanya, seperti gema yang enggan hilang.
Tanpa menoleh lagi, ia meneruskan langkah ke ruang BK, meski pikirannya masih tertinggal di lorong itu.
⋇⋆✦⋆⋇
Ruang BK sore itu tampak lengang. Lampu di sudut ruangan menyala setengah temaram, menyisakan bayangan lembut di dinding.
Bu Dwi tengah merapikan berkas saat Nayla masuk, mengetuk pintu pelan.
“Permisi, Bu…”
Bu Dwi menoleh dan tersenyum kecil.
“Oh, Nayla. Silakan duduk, sebentar ya.”
Nayla mengangguk dan menarik kursi di depannya.
Beberapa detik hening. Suara kertas yang dibalik perlahan terdengar samar, tapi kepala Nayla justru penuh oleh suara lain yang barusan ia dengar di lorong.
Tentang Rafky yang jenius. Tentang rekor. Tentang bayangan sempurna yang selalu menutupi cahaya orang lain.
Ia mengangkat wajah, lalu berbicara pelan.
“Bu…”
Bu Dwi mendongak. “Ya?”
“Saya boleh tanya sesuatu?”
“Silakan.”
Nayla menunduk sejenak, merangkai kata-kata dalam kepala.
“Soal… Rafka.”
Ekspresi Bu Dwi melunak, seolah sudah menebak arah pembicaraannya.
“Apa yang ingin kamu tahu tentang dia?”
Nayla mengusap jemarinya di pangkuan, lalu berkata pelan,
“Kenapa, ya, dia selalu kelihatan kayak… nahan semuanya sendiri?”
Bu Dwi menghela napas. Senyumnya muncul perlahan.
“Anak itu memang keras kepala. Persis seperti ibunya.”
Senyum itu tetap di wajahnya, tapi sorot matanya sedikit berubah—lembut, tapi berkabut. Seolah kenangan lama baru saja mengetuk dari kejauhan.
Nayla mengangkat wajah sedikit.
“Bu Dwi kenal ibunya Rafka?”
Bu Dwi menoleh, lalu tersenyum kecil.
“Bukan cuma kenal. Kami teman dekat. Satu angkatan, satu kelas juga di sekolah ini.”
Nayla terdiam. Tak menyangka.
“Kami dulu duduk sebangku selama dua tahun,” lanjut Bu Dwi. “Waktu sekolah, dia selalu bawa bekal dari rumah. Kalau Ibu lupa, pasti langsung dibagi dua, walaupun isinya cuma nasi dan tempe”
Bu Dwi terkekeh pelan, wajahnya tampak sedikit melunak oleh kenangan.
“Orangnya nggak banyak bicara, tapi selalu tahu cara menunjukkan perhatian.
Waktu Ibu sakit, dia yang sigap anterin ke UKS. Waktu Ibu gagal di olimpiade, dia cuma duduk diam nemenin Ibu… nggak banyak nanya, cuma nenangin. Dan—” Ia tersenyum lebih lebar, “—dia selalu ngasih permen jahe. Katanya biar tenang.”
Nayla refleks mengangkat wajah.
Ia langsung teringat momen saat Rafka memberinya permen itu di lorong, dengan ekspresi datar dan mata yang sengaja tak menatap.