Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #22

BAB 11 - Benih Harapan (Bagian I)

Hidup tak pernah benar-benar berubah dalam semalam. Tapi kadang, ada satu momen kecil yang cukup untuk mengguncang sesuatu di dalam dan memaksa seseorang menoleh ke arah yang selama ini dihindari.

Sudah dua hari sejak janji itu dibuat.

Tapi nama Rafka belum juga muncul di papan pendaftaran.

Selebaran Olimpiade Fisika masih tertempel di mading, ujung-ujungnya mulai melengkung tak beraturan. Semua orang bisa melihatnya. Termasuk Rafka.

Namun ia tetap diam seperti biasa, acuh, datar, seolah janji itu tak pernah ada.

Sampai suatu sore, langkahnya terhenti di lorong belakang.

Beberapa meter di depannya, Nayla berdiri. Berhadapan dengan Donna.

Suara Donna terdengar tajam, sarkastik. Tapi Nayla tidak bergeming.

Matanya bergetar… namun sorotnya tetap teguh. Tidak mundur. Tidak gentar.

Rafka hanya diam, mengamati dari balik pilar. Tak sepatah kata pun keluar. Tapi dadanya terasa berat, seperti ada sesuatu yang perlahan bergeser di dalamnya.

Seperti helaan napas panjang… yang terlalu lama ia tahan.

Malam itu, ia duduk di meja belajar. Buku di depannya masih bersih, belum tersentuh.

Earphone menggantung di leher. Cutter kecil tergeletak di ujung meja.

Tangannya terulur, nyaris menyentuhnya, tapi berhenti.

Di tengah sunyi, suara Nayla terngiang di kepalanya:

Aku janji nggak akan lari lagi dari orang-orang kayak Donna… aku bakal ngelawan mereka.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rafka bertanya pada dirinya sendiri:

Kalau Nayla bisa berdiri, kenapa gue masih diem?

Ia menarik napas pelan. Pandangannya beralih ke buku di depannya.

Tangannya tak menyentuh cutter malam itu.

Ia memilih mengambil pensil.

Keesokan paginya, Rafka berdiri di depan ruang BK.

Ia menghela napas kecil, ragu.

Bukan karena sudah siap.

Tapi ada dorongan samar di dadanya—pelan, tapi nyata.

Dan untuk pertama kalinya, ia memilih mengikuti dorongan itu.

Lalu, ia mengetuk pintu.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Cahaya siang mulai meredup saat bel terakhir berbunyi. Lorong-lorong sekolah perlahan lengang, dipenuhi suara langkah malas para siswa yang bersiap pulang.

Nayla berjalan seorang diri sambil memeluk buku di dada, tanpa tujuan jelas. Pikirannya melayang pada banyak hal: kelas, tugas, dan tentu saja... janji yang dibuat dua hari lalu.

Langkah Nayla melambat saat melewati mading sekolah. Ia sempat melirik sekilas, lalu berhenti.

Selebaran baru tertempel di sana, judulnya mencolok:

DAFTAR PESERTA SELEKSI OLIMPIADE FISIKA

Dengan jantung yang berdegup cepat, Nayla melangkah mendekat. Matanya menyapu nama demi nama di daftar itu. 

Dan di baris paling akhir, ia menemukannya. 

Nama itu terpampang jelas:

Rafka Aryasatya.

Lihat selengkapnya