Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #23

BAB 11 - Benih Harapan (Bagian II)

Hari seleksi tahap pertama Olimpiade Fisika akhirnya tiba.

Di ruang kelas yang disulap menjadi tempat ujian, Rafka duduk di deretan paling belakang. Tangannya memegang pensil mekanik, wajahnya datar seperti biasa tapi dari keningnya yang sedikit berkeringat dan jemarinya yang bergetar pelan, bisa ditebak kalau pikirannya tak serileks ekspresinya.

Soal-soal tergeletak di atas meja.

Rangkaian angka, rumus, dan pertanyaan pemicu stres. Tapi alih-alih ragu, Rafka justru mulai menulis.

Menyelesaikannya satu demi satu, perlahan namun pasti.

Nayla menunggu di luar ruangan, ia duduk di tangga belakang, tangannya mengepal di atas lutut—gugup. Seolah ia yang sedang ikut seleksi.

Ia tak bisa masuk dan menyaksikannya langsung. Tapi di dalam hatinya, ia yakin: Rafka akan berjuang dengan keras. 

⋇⋆✦⋆⋇ 

Beberapa hari kemudian, pengumuman hasil seleksi tahap pertama terpajang di mading utama.

Suasana sekolah riuh, para siswa berkumpul, berebut melihat hasilnya.

“Nay!” seru Citra dari ujung lorong, setengah berlari mendekat. “Pengumumannya udah ditempel!”

Nayla tersentak, matanya langsung mencari satu sosok yang tak asing dan menemukannya sedang berjalan santai di sisi lain lorong, tangan di saku, ekspresi malas seperti biasa.

“Raf!” panggil Nayla, menghampiri. “Pengumumannya udah keluar. Yuk ke mading!”

Rafka mendengus kecil, langkahnya tak melambat sedikit pun.

“Lo aja. Gue males.”

“Ayolah,” Nayla menarik ujung lengan jaketnya pelan. “Sekali ini aja. Aku nggak mau liat sendiri.”

Rafka meliriknya sekilas, ekspresinya malas tapi kesal. 

“Heboh banget sih,” gumamnya ketus, “kayak lo yang ikut seleksi.”

“Dua hari ini aku deg-degan, tau, nunggu hasilnya.” Nayla bersungut pelan, tapi tetap menarik ujung lengannya, tak mau menyerah. 

Setelah beberapa detik hening, Rafka menghela napas panjang, ia akhirnya menyerah dan membiarkan dirinya ditarik pergi.

Di depan mading, kerumunan siswa mulai menyurut.

Nayla segera mencari satu nama:

Rafka Aryasatya.

Dan ketika ia menemukannya… matanya membelalak.

“Raf!” serunya sambil menunjuk. “Kamu lolos!”

Rafka hanya melirik. “Oh.”

Cuek. Seperti biasa.

Tapi Nayla tidak peduli. Ia begitu lega, begitu senang—sampai refleks, tubuhnya meloncat pelan sambil merangkul lengan Rafka erat.

“Gila! Keren banget, kamu beneran lolos!!” serunya sambil tertawa kecil, wajahnya berseri-seri.

Rafka tersentak pelan.

Tubuhnya spontan menegang, tak siap dengan kontak fisik mendadak. Ia diam, berdiri kaku—tidak membalas, tapi juga tidak langsung menepis.

Seolah bingung harus bereaksi bagaimana.

Baru setelah itu, Nayla sadar, lalu buru-buru melepaskan pelukannya.

Wajahnya memerah, canggung.

“Maaf… aku nggak sengaja.”

Rafka melirik sekilas.

“Gak usah lebay.”

“Iya, maaf…” Nayla menunduk, tersipu.

Di tengah keheningan canggung itu, langkah kaki terdengar mendekat.

Pak Ridwan menghentikan langkahnya begitu melihat nama di papan pengumuman. 

“Rafka? Wah, selamat ya. Saya nggak nyangka kamu akhirnya ikut juga,” ucapnya sambil tersenyum.

Rafka mengangguk kecil, senyum tipis tersungging di wajahnya.

“Iya, Pak.”

Pak Ridwan menepuk pelan bahu Rafka.

“Semangat, ya. Saya yakin kamu bisa lolos sampai final.”

Rafka tak menjawab, tapi tatapannya sedikit melunak.

Pak Ridwan pun melanjutkan langkahnya, menyisakan keheningan hangat di antara dua remaja yang berdiri di depan mading.

Rafka menatap daftar itu sekali lagi. Dan tanpa sadar, menarik napas pelan.

Entah karena lega, atau karena merasa… untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar senang atas kemenangannya.

Bukan karena nilai.

Bukan karena prestise.

Tapi karena dirinya.

Dan entah kenapa… itu terasa cukup menyenangkan.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Sore itu, udara rumah terasa berat. Hujan baru reda, menyisakan langit kelabu dan jalanan basah di luar jendela. Rafky duduk di sofa ruang tengah, laptop terbuka di pangkuannya. Layar menampilkan halaman kosong, kursornya berkedip, tapi tak satu pun huruf tertulis.

Dari arah dapur, suara langkah terdengar. Tak lama kemudian, Ayahnya muncul membawa secangkir kopi, lalu duduk di sofa seberang.

“Gimana kuliahmu, Ky?” tanyanya santai, tapi sorot matanya terlihat tajam.

Rafky menghela napas pelan.

“Lagi padat, Yah. Dua minggu lagi mau ada simulasi OSCE, semacam ujian praktek klinik,” gumamnya, seperti menjelaskan hafalan yang tak ingin diulang.

Ayahnya mengangguk perlahan.

“Udah mulai persiapan buat koas?”

Rafky tak langsung menjawab. Jemarinya mengetuk sisi laptop sebelum akhirnya berkata,

“Lagi nyicil berkas portofolio. Sama buat laporan akhir blok.” Suaranya datar, matanya tetap terpaku pada layar.

Ayahnya kembali mengangguk pelan, lalu menyesap kopinya.

“Kapan kamu balik ke asrama lagi?”

Rafky berpikir cepat.

“Nanti Yah, soalnya masih ada yang harus diberesin dulu di sini.’

Ayahnya tidak menyanggah. Hanya menatap sejenak, lalu bergeser menyandarkan punggung ke sofa. Tatapannya mengendap.

“Kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya setelah jeda panjang.

“Iya, Yah. Cuma... lagi capek aja. Banyak tugas.” Senyumnya muncul sekilas, terlalu tipis untuk terlihat meyakinkan.

Ayahnya hanya mengangguk pelan. Lalu diam. Tidak ada percakapan lagi setelah itu, hanya suara sisa hujan yang menetes dari atap ke talang.

Beberapa menit kemudian, Rafky menutup laptopnya lalu bangkit dari duduk.

“Aku ke kamar dulu, Yah.”

Ayahnya hanya menoleh sekilas, lalu kembali menikmati kopinya. 

Rafky berjalan menuju lorong, langkahnya ringan tapi tergesa. Begitu sampai di kamar, ia membuka pintu dan menutupnya pelan. 

Di balik pintu yang kini tertutup, Rafky bersandar sebentar. Napasnya dalam dan berat.

Matanya terarah pada satu titik: meja belajar di pojok ruangan, tempat sebuah botol kecil transparan berdiri diam. Labelnya sudah mulai memudar, tapi tulisan itu masih bisa terbaca samar:

Clonazepam – 0.5mg

Tangannya sempat terulur, lalu terhenti di udara.

Ia hanya diam, menatap lama. 

Seolah bertanya dalam hati, 

sampai kapan ia harus terus berpura-pura?

⋇⋆✦⋆⋇ 

Beberapa hari setelah pengumuman seleksi itu, meski tak diungkapkan langsung, ada sesuatu yang mengendap di dada Rafka.

Bukan euforia. Bukan juga kebanggaan.

Hanya rasa tenang… yang selama ini tak pernah ia temukan.

Untuk pertama kalinya, ia berpikir—

mungkin, ia tidak seburuk yang selama ini ia percaya.

Mungkin… ia memang bisa. Walau hanya sedikit.

Di rumah, Rafka mulai lebih sering membuka buku.

Pesan-pesan dari Nayla, pun sering ia baca ulang, meski jarang dibalas.

Tapi di setiap soal yang coba ia kerjakan, ada satu suara yang terus terngiang di kepalanya:

Kamu pasti bisa, Raf.

Entah kenapa, kata-kata itu lebih sulit diabaikan daripada yang ia kira—seperti dorongan kecil yang perlahan menyingkirkan keraguannya.

Dan tanpa ia sadari, dukungan Nayla pun terus hadir... dalam bentuk-bentuk sederhana.

Kadang berupa latihan soal yang dikirim lewat pesan singkat.

Kadang hanya ucapan ringan:

| Jangan nyerah, ya.

Perlahan, Rafka mulai percaya.

Bahwa dirinya pun bisa berubah—meski pelan

⋇⋆✦⋆⋇ 

Siang itu, aula sekolah dipenuhi wali murid dan para siswa yang lolos seleksi tahap pertama Olimpiade.

Suasana tampak hangat dan antusias. Beberapa guru menyambut dengan ramah, membagikan berkas dan menjelaskan jadwal pembinaan intensif yang akan dimulai minggu depan.

Tapi ditengah keramaian itu, seseorang masuk dengan langkah tegap. Sorot matanya tajam, menyapu ruangan hingga berhenti pada satu titik.

Rafka melihatnya. Bahunya refleks menegang, meski ekspresinya tetap datar. 

Ayahnya.

Sosok itu mendekat, membawa hawa dingin yang tak bisa dijelaskan.

“Kenapa gak bilang kalau ikut beginian?” tanyanya pelan, tapi dingin.

Rafka menarik napas pendek.

“Lupa,” jawabnya singkat, menunduk sedikit seolah ingin menghindari tatapan.

Ayahnya mendengus pelan, matanya menyipit.

“Tumben kamu mau repot ikutan lomba?”

Langkahnya berhenti tepat di depan Rafka. Nadanya lebih rendah, tapi penuh tekanan.

“Kamu pikir ikut lomba sekali bisa nutupin semua kemalasan kamu selama ini?”

Rafka diam. Rahangnya mengeras. Ia menggertakkan gigi—pelan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa kata-kata itu menamparnya.

“Baru lolos seleksi aja udah ngerasa hebat?” Nadanya ringan, tapi menusuk. “Bangga, kamu?”

Rafka tetap tak menjawab. Tapi matanya sedikit bergetar, dan dadanya naik-turun cepat seolah sedang menahan sesuatu yang mendesak keluar.

“Ayah tau, kamu daftar cuma buat menghibur diri,” ucapnya ddatar

“Tapi ingat, mau menang atau kalah, itu gak akan mengubah kenyataan.” 

Ia menatap lurus ke arah Rafka.

“Kamu tetap bukan anak yang bisa dibanggakan.”

Kalimat itu jatuh seperti hujan di atas luka yang belum kering, perihnya tak bersuara, tapi terasa dalam.

Rafka menatap sosok di depannya. Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram erat pergelangan kiri—berusaha menahan diri agar tak runtuh di tempat.

Sementara Ayahnya menepuk berkas di tangannya, lalu berbalik pergi seolah tak ada yang perlu dibahas lagi.

Dari kejauhan, Nayla yang baru keluar dari ruang guru tanpa sengaja melihat semuanya.

Wajah Rafka yang tadinya tenang, kini perlahan kembali retak.

Napasnya berat. Pandangannya kosong.

Semua keyakinan yang baru saja tumbuh… runtuh dalam sekejap.

Ia berbalik. Tatapannya sempat bertumbuk dengan Nayla namun hanya sepersekian detik.

Lalu ia berpaling, dan berlari. 

Tanpa menoleh lagi. 

⋇⋆✦⋆⋇

Rafka terduduk di lantai atap sekolah, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Napasnya memburu, kasar, seolah paru-parunya enggan bekerja normal. Jemarinya gemetar, kepalanya menunduk, rahangnya mengatup keras. Matanya merah, bukan karena menangis tapi karena menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar air mata.

Suara-suara itu kembali. Bising. Menyusup ke dalam kepalanya, bergaung seperti gema yang tak bisa dikendalikan. Kata-kata ayahnya, bisik-bisik orang, bayangan masa lalu, semuanya berputar cepat dalam benaknya. 

Dadanya terasa sesak, seperti dihantam gelombang yang datang bertubi-tubi, menggulungnya tanpa jeda, seolah ingin menenggelamkan sisa-sisa ketenangan yang baru saja tumbuh.

Tiba-tiba, Rafka mencengkeram rambutnya sendiri, menariknya kuat, seolah ingin mencabut suara-suara itu dari akar kepalanya. Lalu tanpa ragu ia memukul pelipisnya, keras dan berulang.

“Diam… Diam, semua,” desisnya parau, seolah sedang memohon pada suara-suara di kepalanya untuk berhenti.

Kemudian tangannya bergerak cepat.

Wristband yang sejak lama melingkari pergelangan kirinya dilepas begitu saja.

Tanpa ragu, ia melemparnya ke samping

lalu meraih cutter di sakunya.

Ujung logamnya menyentuh kulit. Dingin. Tajam.

Hanya sebentar… sebelum tubuhnya mendadak membeku.

Jemarinya mencengkeram gagangnya makin erat.

Tangannya gemetar hebat.

Ia ingin melakukannya… tapi ragu.

Ingin rasa itu hilang. Ingin suara-suara itu lenyap.

Tapi juga takut—takut tenggelam lebih dalam, dan tak pernah kembali.

Dan saat tangannya mulai mantap, saat pikirannya nyaris menutup semua pintu logika…

Langkah kaki kecil terdengar  mendekat.

Disusul helaan napas yang tercekat di ambang pintu.

Nayla berdiri terpaku. Untuk beberapa detik, ia tak mampu bergerak. Matanya membelalak, seolah dunia di sekitarnya berhenti.

“Raf…” ucapnya, nyaris seperti bisikan. Suaranya serak, bercampur panik dan kepedihan.

Rafka tidak menjawab. Cutter itu masih di genggamannya.

Nayla melangkah pelan, lututnya gemetar. Tapi nadanya tetap lembut.

“Kamu nggak boleh lakuin itu lagi, Raf…” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan—bukan sebagai teguran melainkan permohonan. 

Rafka terdiam. Rahangnya mengeras.

Tatapannya kosong, seolah ada sesuatu yang tak terlihat sedang menariknya jatuh.

Nayla menahan napas. Matanya menatap Rafka dalam diam.

Ia mendekat perlahan, lalu duduk di depannya.

Tanpa berkata apa pun, tangannya terulur, meraih pergelangan itu dengan lembut. 

Namun Rafka refleks menepisnya.

“Ngapain sih, lo?” bentaknya pelan, matanya masih tak menatap Nayla.

“Dengerin aku dulu, Raf,” ujar Nayla, suaranya tetap tenang, tak bergeming.

“Gak ada gunanya!” seru Rafka, kali ini lebih tajam. Ia tertawa getir, penuh amarah yang tak tahu harus ke mana.

“Lo liat sendiri, kan? semua yang gue lakuin percuma!”

Napasnya memburu, suaranya nyaris tercekik oleh luka.

“Gak akan pernah cukup. Karena gue emang… cuma sampah.”

Nayla menahan napas.

Untuk sesaat, ia tak sanggup berkata apa pun.

Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak menyaksikan Rafka yang seolah benar-benar ingin lenyap dari dunia ini.

Perlahan, ia mendekat lagi.

“Jangan bilang kayak gitu, Raf…” ucapnya pelan, suaranya gemetar namun tegas.

Rafka tak menoleh. Ia hanya menunduk, jemarinya masih mencengkeram cutter yang belum sempat ia lepaskan.

Nayla berlutut di depannya, lalu menggenggam tangannya—yang dingin dan gemetar.

“Aku tau rasanya nggak dianggap. Ngerasa kosong. Capek, dan pengin ngilang…”

Ia menarik napas dalam, menahan air mata yang menggantung di ujung mata.

“Tapi kamu belum gagal, Raf. Kamu cuma lagi jatuh.”

Sebentar ia diam, lalu melanjutkan:

“Kita semua punya retakan luka. Tapi itu bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan pulang.

Ia menatap Rafka, matanya lembut namun mantap.

“Kamu bukan sampah, Raf. Kamu cuma lagi tersesat di tengah badai. Dan kalau kamu izinin… aku akan tarik kamu keluar dari sana.”

Rafka tetap diam. Tapi matanya mulai berkabut.

Perlahan, Nayla melepas gelang biru dari pergelangan tangannya.

Ia menggenggam benda itu sejenak, sebelum melingkarkannya ke tangan kiri Rafka.

“Ini… dibuat sama anak-anak panti. Mereka bilang, setiap rajutannya disulam pakai doa dan harapan buat orang-orang yang lagi pengin nyerah.”

Ia menatap Rafka dalam-dalam.

“Waktu itu, aku juga sempat mau nyerah. Tapi… aku milih buat bertahan. Karena ada yang percaya aku masih kuat.”

Nadanya mengerut lembut, tapi mengandung keteguhan yang mendalam.

“Kalau suatu hari kamu ngerasa hancur lagi…” lanjutnya, menatap mata Rafka dengan lirih,

“inget gelang ini, karena seburuk apa pun harinya, kamu masih punya harapan.”

Keheningan menggantung beberapa saat.

Lihat selengkapnya