Langit sore menggantung teduh, menyelimuti langkah mereka yang perlahan menapaki halaman kecil di balik pagar hijau yang mulai berkarat.
Panti Asuhan Dandelion.
Tulisan itu terpajang di papan kayu tua yang sedikit miring di gerbang depan. Catnya terkelupas di beberapa sisi, tapi huruf-hurufnya masih terbaca jelas.
Rafka berdiri diam di ambang gerbang. Tak berkata apa-apa.
Suasana di sekelilingnya terasa asing… tapi tidak mengancam.
Tak ada suara bentakan. Tak ada tuntutan.
Hanya tawa anak-anak kecil yang berlarian di halaman, aroma tanah kering yang hangat tersentuh matahari sore, dan embusan angin yang lembut membawa damai yang terasa jauh… tapi perlahan mendekat.
Nayla mendorong gerbang pelan, lalu menoleh.
“Yuk,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Rafka menatapnya sekilas, lalu mengikutinya dengan langkah ragu.
Begitu mereka melangkah ke dalam, beberapa anak kecil langsung berlari mendekat. Wajah-wajah ceria, pakaian sederhana, dan mata yang penuh rasa ingin tahu menyambut mereka tanpa ragu.
“Kak Naylaaa!” seru mereka bersamaan, memeluk pinggang dan menarik-narik tangannya penuh antusias.
Salah satu anak perempuan berhenti sejenak, lalu memiringkan kepala, menatap Rafka dengan mata berbinar.
“Ini Kak Rafka, ya?” tanyanya polos, penuh rasa ingin tahu.
Rafka terkejut, antara bingung dantaak percaya.
“Hah? Kok kamu tau—”
“Kak Nayla sering cerita,” sahut anak laki-laki di sebelahnya, senyum bangga merekah di wajah kecilnya.
“Katanya, Kak Rafka itu lucu, penuh semangat, dan kuat!”
Rafka menoleh cepat ke arah Nayla, alisnya terangkat setengah heran.
“Lucu?”
Nayla hanya mengangkat bahu, geli.
“Ya, masa aku bilang kamu galak dan nyebelin?”
Beberapa anak tertawa kecil, ikut menggoda.
Tak butuh waktu lama sebelum mereka mulai mengerubungi Rafka, menarik-narik lengan jaketnya dengan semangat yang tulus dan riang.
“Ayo main, Kak!”
“Di sana ada ayunan!”
“Ceritain dongeng, dong!”
Rafka sempat panik. Ia mundur selangkah. Tangannya kaku, tubuhnya canggung. Dunia ini terlalu asing—terlalu hangat, terlalu jujur. Ia tidak tahu cara menanggapinya.
Lalu, seorang anak kecil maju dan menyodorkan sepotong kue bolu yang dibungkus plastik kusut sambil berkata,
“Ini buat Kakak,” ucapnya pelan. “Biar betah di sini.”
Rafka terdiam. Tangannya ragu saat menerima kue itu. Lama ia menatapnya, seolah tak percaya ada kebaikan sekecil ini yang tulus diberikan padanya.
Lalu, perlahan… tawa kecil lolos dari bibirnya. Ringan. Canggung. Tapi nyata.
Seolah tubuhnya baru ingat cara melepaskan beban, walau hanya sedikit.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa diterima.
Bukan karena nilai. Bukan karena ambisi. Tapi karena dirinya sendiri.
Rafka kembali menatap wajah-wajah kecil di depannya—tersenyum tanpa beban, tanpa prasangka. Bahunya yang tadi tegang perlahan turun. Dadanya yang sesak, sedikit mengendur. Saat satu anak menarik ujung jaketnya dan berkata,
“Kak Rafka beneran kuat, ya? Tangannya gede banget!”
Rafka sempat terdiam, lalu tanpa sadar sudut bibirnya terangkat sedikit.
“Dia suka olahraga,” sela Nayla cepat, menggoda. “Walau makannya kadang ogah-ogahan.”
Rafka mendengus pelan. Tapi tidak membalas. Hanya menatap Nayla sekilas, lalu kembali melihat anak-anak yang kini mulai mengelilinginya.
Dari sudut lain, Nayla memperhatikannya diam-diam.
Ada sesuatu dalam sorot mata Rafka yang berubah. Belum sepenuhnya pulih, belum benar-benar lega…
Tapi jelas: mulai terbuka.
⋇⋆✦⋆⋇
Langit mulai menguning saat Nayla mengajak Rafka duduk di bangku kayu di sudut halaman panti. Suara anak-anak yang masih bermain terdengar samar, bercampur dengan desir angin sore dan gemerisik daun yang saling bersentuhan.
Dari balik pintu bangunan utama, langkah kaki terdengar mendekat.
Seorang perempuan paruh baya muncul di ambang pintu. Wajahnya teduh, senyum lembut mengulas bibirnya. Rambutnya disanggul rapi, dan di tangannya tergenggam nampan berisi dua gelas teh hangat.