Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #25

BAB 12 - Dinding yang Mulai Retak (Bagian II)

Langit mulai meremang saat suara langkah berat terdengar menuruni tangga rumah. Di ruang makan yang kosong, Rafky duduk sendiri, menatap nasi yang sudah dingin. Sendok di tangannya tak bergerak.

Ayahnya muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja safari dan jaket hitam favoritnya. Sebuah tas kecil tersampir di pundaknya. Wajahnya seperti biasa, tegas, kaku, nyaris tak memberi ruang untuk salah.

“Hari ini Ayah mau ke luar kota. Ada pertemuan pengurus. Lusa baru pulang,” ucapnya datar sambil merapikan tali jam tangan.

Rafky hanya mengangguk. Ia tak bertanya, tak membuka obrolan. Tapi seperti biasa, keheningan itu tak dibiarkan bertahan lama.

“Rafky.” Suara ayahnya kembali terdengar, lebih berat, lebih pelan.

Ia melangkah mendekat dan berdiri di hadapannya, menatap tajam. Satu tangan bertumpu di pinggang, tangan lainnya menepuk-nepuk meja pelan, membuat suasana makin tegang.

“Kamu bener gak apa-apa?” tanyanya, datar. “Ayah gak mau denger nilai kamu anjlok gara-gara kecapekan atau stres. Istirahat cukup. Makan yang bener. Dengar?”

Rafky kembali mengangguk, lalu menunduk. Tak membantah, tak menjawab. Tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang perlahan retak. 

“Doain Ayah, ya,” ucap sang ayah sambil menepuk bahu Rafky singkat, datar, seperti formalitas belaka.

Lalu ia berbalik menuju pintu.

Pintu tertutup.

Suara mobil perlahan menjauh, makin lama makin hilang…

Dan saat benar-benar lenyap, yang tersisa hanyalah sunyi dan beban yang menggantung di bahu Rafky.

Ia tak bergerak.

Sendok di tangannya masih tergenggam, erat.

Rahangnya mengeras. Napasnya mulai tak beraturan.

Lalu tiba-tiba, sendok itu dilempar ke atas meja.

Dentangnya nyaring, memantul ke seluruh penjuru ruang.

Sejenak, seisi rumah seperti menahan napas. Rafky bangkit perlahan. Sorot matanya kosong, tapi tubuhnya menegang. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang mulai pecah… satu per satu.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Malam mulai larut. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas. Rafka membuka pintu rumah pelan. Sepi. Tak seperti biasanya, lampu ruang tengah menyala redup, dan tidak ada suara TV yang biasanya menemani malam mereka.

Langkahnya perlahan menapaki lorong. Sepatu sudah dilepas. Tas selempang disampirkan asal. Kepalanya menunduk, letih.

Namun, langkahnya mendadak terhenti. Alisnya mengernyit pelan.

Ada sesuatu di udara—tajam, menyengat, seperti sisa bau alkohol yang belum lama menguap.

Ia mengangkat wajah, mengendus pelan. Napasnya menegang. Matanya menyipit, waspada.

Suara dentingan kaca terdengar dari ruang tengah.

Rafka segera melangkah cepat, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya terkesiap.

Di tengah ruangan, Rafky duduk di lantai, punggung membungkuk. Kemejanya kusut, rambut berantakan, matanya merah dan sayu. Di sekitarnya, botol-botol alkohol nyaris kosong, berserakan tanpa arah. Tangannya gemetar saat mengangkat gelas, seolah tubuhnya pun mulai menyerah.

“Apa-apaan, nih?” suara Rafka tercekat.

Rafky mendongak. Tatapannya buram, senyumnya miring—getir.

“Wah… adik kebanggaan pulang juga,” ucapnya pelan, menyindir, lalu menenggak isi gelasnya tanpa ragu.

“Lo ngapain sih, Anj*r?” tanya Rafka, langkahnya makin mendekat.

“Rayain hidup, mungkin?” Rafky tertawa hambar. “Atau... rayain kematian reputasi.”

Rafka mulai panik.

“Gila, lo mabok?”

“Yah. Terpaksa nyoba, sih. Obat dokter udah gak ngaruh.” Ia menoleh, menunjuk deretan piala dan medali di rak, matanya menyala bukan karena bangga, tapi marah.

“Liat tuh. Semua orang bangga, kan? Ayah bangga. Sekolah bangga. Dosen bangga. Semua percaya... Rafky ini anak jenius. Dokter masa depan. Penerima beasiswa terbaik.”

Ia tertawa lagi. Lebih keras. Lebih getir, lalu mendadak berhenti.

“Tapi gak ada yang tau… gue udah DO.”

Rafka membeku. “Hah?”

Lihat selengkapnya