Sebuah Rasa yang Kusebut Rumah

fotta
Chapter #26

BAB 13 - Luka di Balik Kesempurnaan (Bagian I)

Langkah-langkah kaki terdengar di lorong sekolah. Teratur, tapi hampa.

Rafka berjalan perlahan, melewati jejeran siswa lain yang lalu-lalang, bercanda, saling sapa. Tapi baginya, semua itu hanya suara latar.

Seperti dunia yang terus bergerak, sementara pikirannya masih tertinggal di ruang tengah rumahnya. Di samping kakaknya yang tertidur dengan napas berat dan wajah pucat.

Ia tak tahu apa yang akan ditemuinya nanti sepulang sekolah.

Tak tahu apakah secangkir teh hangat yang ia tinggalkan masih utuh… atau telah tumpah bersama perasaan yang belum sempat pulih.

Tangannya menggenggam erat tali tas.

Dan hari ini ia merasa, sekolah bukan lagi tempat untuk lari dari rumah. Tapi justru tempat paling sunyi… untuk menyimpan rasa takut.

Suasana kelas pagi itu tak jauh berbeda dari biasanya.

Langit mendung, papan tulis penuh coretan rumus, dan suara guru di depan terdengar seperti gema jauh. Masuk telinga, tapi tak menetap di kepala.

Rafka duduk di bangkunya.

Kepalanya menunduk, menatap kosong halaman buku tulis yang masih bersih.

Pulpen di tangannya menggurat garis tak beraturan, makin lama makin dalam, seolah hendak menembus kertas.

“Rafka.”

Suara Bu Dwi terdengar dari depan kelas—tenang, tapi tetap tegas.

Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya lurus pada Rafka, tapi tanpa nada menghakimi.

Kepala Rafka terangkat, refleks. Seluruh kelas ikut menoleh ke arahnya.

“Bisa kamu ulangi penjelasan Ibu tadi?” tanya Bu Dwi pelan, namun hati-hati, seolah tak ingin membuat Rafka merasa terpojok.

Rafka terdiam. Dadanya sesak.

Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya terasa berat, dipenuhi suara-suara yang tak ada hubungannya dengan pelajaran.

Denting kaca. Tawa getir kakaknya.

Beberapa siswa terkikik pelan. Tapi Rafka tak bereaksi.

Pulpen di tangannya jatuh. Baru saat itu ia sadar, jemarinya gemetar. Pelan-pelan, ia menarik napas… lalu menunduk lagi.

“Maaf, Bu,” gumamnya, nyaris tak terdengar.

“Kamu nggak apa-apa?” Suara Bu Dwi melunak.

Rafka mengangguk. Tapi di dalam, ada sesuatu yang retak. Tak kelihatan. Tapi terasa nyata. 

Bel istirahat berbunyi tak lama setelah itu. Suara kursi berderit, langkah-langkah terburu, tawa-tawa lepas memenuhi kelas. Tapi Rafka tetap duduk di tempatnya. Tak bergerak.

Tangannya meraih pulpen yang jatuh, tapi matanya kosong, menatap lurus ke meja seperti masih terjebak di tempat lain.

Dari kejauhan, langkah seseorang mendekat… lalu berhenti di sampingnya.

“Rafka,” suara itu terdengar lembut.

Ia mendongak. Bu Dwi berdiri di samping mejanya, menatapnya tanpa banyak bicara. Wajahnya tenang, tapi ada kekhawatiran samar di sana.

“Kamu kelihatan capek. Mau cerita?”

Rafka menggeleng pelan.

Tapi Bu Dwi tidak memaksa. Ia hanya berdiri di sana sebentar, lalu mengangguk kecil.

“Kalau kamu udah mau cerita… ruang BK selalu terbuka,” ucapnya singkat. Lalu pergi, tanpa menunggu jawaban.

Beberapa detik kemudian, suara lain terdengar, lebih pelan, tapi tak kalah akrab.

“Nggak ke kantin, Raf?”

Lihat selengkapnya