Bel istirahat berbunyi.
Langit di luar jendela tampak kelabu, seperti kaca buram yang menahan cahaya.
Suara kursi bergeser, tawa-tawa ringan, langkah-langkah terburu ke arah kantin… semua terdengar, tapi jauh.
Rafka tetap di tempatnya. Ia tak bergerak, hanya duduk diam dengan tangan menelungkup di atas buku yang masih kosong sejak pagi.
Nayla mendekat perlahan. Ia duduk di bangku seberang, diam sejenak sebelum mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Raf...” panggilnya pelan.
Rafka menoleh, sekilas. Tatapannya lelah, tapi tak menghindar.
“Gimana hari ini?” tanya Nayla hati-hati.
Rafka tidak langsung menjawab. Pandangannya terpaku pada langit mendung, dan dedaunan yang bergerak lamban.
“Lumayan,” gumamnya akhirnya. Suaranya datar, tapi tak sedingin biasanya.
Nayla mengangguk kecil.
Hening sejenak sebelum ia kembali membuka suara.
“Besok semi final, ya?” tanyanya pelan.
Rafka terlihat sedikit menegang. Tangannya bergerak pelan, menyentuh pergelangan kirinya, erat.
Ia diam sesaat. Pandangannya menunduk. Lalu ucapannya meluncur, pelan, seperti kejujuran yang tak pernah ia rencanakan.
“Dari awal gue gak ada niat buat menang.”
Kata-katanya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di balik suaranya yang terasa berat.
Bukan pesimis. Bukan menyerah.
Tapi seolah kemenangan bukan hal yang mudah ia genggam.
Nayla menatapnya lama.
Ada sesuatu di matanya—seperti ingin masuk lebih dalam… tapi ia tahu, ada batas yang tak bisa dilewati.
Akhirnya, ia hanya menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil.
“Kadang… yang nggak niat menang justru yang paling butuh alasan buat tetap maju.”
Rafka tak menanggapi. Pandangannya menunduk pada kertas kosong di meja. Lembar putih itu mengingatkannya pada masa lalu—saat ia pernah sampai di titik ini. Saat semuanya nyaris tercapai… sebelum hancur seketika.
Dan sejak itu, ia berhenti berharap terlalu jauh. Karena setiap langkah ke depan, selalu ada yang tertinggal.
⋇⋆✦⋆⋇
Pagi itu terasa sunyi. Langit mendung, dan udara membawa dingin samar yang menggigit pelan di ujung jari.
Rafka berdiri di depan cermin, merapikan kerah seragamnya dengan gerakan lambat. Rambutnya masih sedikit basah, sisa dari mandi yang tergesa.
Di sisi meja, tas sekolah sudah tertata rapi.
Isinya sederhana: buku pelajaran, beberapa alat tulis, dan sebuah agenda cokelat lusuh yang diam-diam selalu ia bawa.
Rafka menarik napas panjang.
Pandangannya jatuh ke pergelangan kirinya—pada gelang rajut biru yang warnanya tampak pudar.
Pemberian dari Nayla.
Benda kecil itu… nyaris tak terasa di kulitnya. Tapi entah kenapa, keberadaannya selalu cukup untuk menahannya.
Menahan langkahnya. Agar tidak benar-benar pergi. Seolah ada bisikan halus yang tertinggal di setiap helainya:
Teruslah berjuang… meski tak mudah.
Rafka menuruni anak tangga perlahan.
Di lantai bawah, suasana rumah masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya.
Ia melangkah melewati ruang tengah—di mana Ayahnya sudah duduk di sofa, seperti biasa.
Tubuh lelaki itu nyaris tersembunyi di balik lipatan koran, ditemani secangkir kopi yang masih mengepul di meja kecil di depannya.
Rafka melirik sekilas.
Ayahnya tetap diam.
Tak ada ucapan semangat. Tak ada doa. Tak ada pesan.
Hanya sebuah anggukan ringan—lebih mirip jeda daripada dukungan.
Tapi Rafka tak menuntut apa pun.
Ia hanya berkata pelan,
“Aku berangkat.”
Lalu melangkah keluar, menutup pintu dengan hati yang masih terasa… setengah kosong.
⋇⋆✦⋆⋇
Gedung itu terang dan ramai, tapi tetap terasa asing.
Senyum panitia, pengumuman dari speaker, denting langkah di atas marmer, semuanya lewat begitu saja, seperti gema yang tak menyentuh.
Rafka berdiri di antara peserta lain yang sibuk berbincang, meregangkan jari, atau menyesap air dari botol plastik.
Ia sendiri hanya diam. Tak mengobrol. Tak tersenyum.