Suasana rumah masih sama, sunyi dan dingin. Tapi malam itu, keheningan terasa seperti ranjau yang menunggu dipijak.
Rafky berdiri kaku di ambang ruang tamu. Helm masih tergantung di tangan, tapi wajahnya mulai mengeras.
“Kenapa, Yah?” tanyanya pelan. Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di baliknya, getar kecil yang menahan ledakan.
Ayahnya tak langsung menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah putranya—tatapan tajam, penuh desakan yang tak butuh penjelasan panjang.
“Siapa yang bilang?” Rafky bertanya lagi, kini lebih keras, nada suaranya mulai naik.
“Jadi benar?” suara ayahnya tetap rendah, tapi menghantam seperti palu.
“Kamu berhenti kuliah?”
Rafky menghela napas panjang. Ia meletakkan helm di kursi, lalu mengusap wajahnya, gelisah, nyaris putus asa.
“Rafky menunduk, suaranya pelan tapi berat.
“Itu gak gampang, Yah... Waktu itu aku lagi stres. Banyak tekanan, banyak hal yang—”
“Alasan!” potong ayahnya. Cepat, dingin. “Stres apa? Jadi selama ini kamu nutupin semuanya? Seminar palsu, koas fiktif, semua dibikin seolah-olah lancar!”
Napasnya mulai meninggi. Matanya menyorot tajam, namun suaranya masih berusaha ditahan.
“Kamu pikir Ayah gak punya hati?” lanjutnya, lebih rendah tapi menusuk. “Gimana rasanya, tiap hari Ayah bangga cerita soal kamu… padahal semua itu cuma bohong?”
Rafky mendongak. Matanya memerah, bibirnya bergetar. Suaranya akhirnya pecah, meninggi tanpa bisa ditahan.
“Aku gak bohong! Aku cuma... belum siap cerita!”
Tawa pendek ayahnya menyela. Dingin. Pahit.
“Belum siap? Kamu pikir nutupin semuanya hampir setahun itu bukan kebohongan?”
Rahangnya mengeras. Napasnya berat, tapi tetap tertahan.
Lalu ia melangkah maju, matanya menatap tajam.
“Buat apa kamu pertahankan sandiwara itu?” suaranya kini benar-benar meledak. “Biar tetap kelihatan hebat? Atau karena kamu terlalu pengecut buat ngaku gagal?!”
“Jangan panggil aku pengecut!” bentak Rafky. Matanya membelalak. Tangannya mengepal.
“Dari dulu aku gak pernah berhenti usaha! Aku udah mati-matian bertahan, Yah! Bukan cuma buat kuliah, tapi juga buat semua ekspektasi Ayah!”
Rafky menatap ayahnya, suara gemetar tapi tetap keras.
“Tiap aku bangun tidur, yang ada cuma tekanan. Penerima beasiswa. Jadi kebanggaan. Jadi panutan. Semua orang muji-muji seolah aku ini dewa.”
Ia menarik napas kasar, lalu menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.
“Tapi gak ada yang tau, kan… aku pernah hampir bunuh diri. Karena capek dan putus asa.”
Ayahnya terdiam. Wajahnya berubah. Tapi ia masih mencoba bertahan dengan egonya.
“Rafky…”
Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, tapi lalu menguat, mencoba mempertahankan wibawanya.
“Kamu yang pilih jalan itu.”
Sejenak hening. Kemudian:
“Kamu juga yang sembunyi sendiri. Gimana Ayah bisa tau, kalau kamu gak pernah cerita?”
Rafky melangkah maju, matanya memerah, rahangnya menegang.
“Karena aku gak punya pilihan lain!”
Suaranya meninggi, nyaris berteriak.
“Karena dari dulu, yang Ayah liat cuma hasil! Ranking, nilai, piala! Semua yang bisa dipajang di rak itu!”
Tangannya terangkat, menunjuk rak piala di sudut ruangan. Napasnya memburu.
“Ayah bahkan gak pernah nanya... aku bahagia atau enggak!”
Wajah ayahnya kembali mengeras.
“Cukup, Rafky.”
Tapi Rafky tidak berhenti.
“Enggak! Sekarang giliran aku!”
Suara Rafky menggema, gemetar tapi tajam. Matanya merah, napasnya memburu.
“Iya, aku emang berhenti. Karena di D.O!
Suara Rafky nyaris membentak. Napasnya memburu.
“Puas Ayah sekarang?!”
Ia mengangkat dagunya. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang nyaris tumpah.
“Tapi Ayah tau apa yang paling aku sesalin?” Suara Rafky menurun, tapi tetap tajam.
“Bukan karena di-DO. Bukan juga karena gagal.”
Ia tertawa pendek, getir.