Malam turun perlahan.
Hujan tipis menyentuh genting, menambah sepi di antara suara-suara yang memudar.
Lampu dapur menyala redup, menggantung tenang di tengah kesunyian.
Rafka berdiri di depan dispenser. Ia menekan keran pelan, membiarkan air mengisi gelas.
Tangannya sedikit gemetar—bukan karena dingin, tapi sisa dari apa yang tadi pecah.
Ia mengisi satu gelas lagi, lalu meletakkannya di meja.
Langkah berat terdengar dari lorong.
Rafky muncul. Wajahnya masih basah, entah karena air atau sisa amarah.
Tapi kali ini, tak ada ucapan. Hanya lelah.
Rafky duduk perlahan, tanpa suara.
Rafka tak menoleh. Ia hanya menggeser gelas ke arahnya.
Tak ada percakapan.
Yang terdengar hanya hujan, dan napas mereka yang berat, saling mengisi ruang.
Beberapa saat berlalu, sebelum akhirnya Rafka membuka suara—pelan, tapi tajam.
“Nih. Baca. Biar lo sadar.”
Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah agenda bersampul cokelat.
Tangannya sempat diam sesaat, lalu meletakkannya di atas meja—pelan. Hampir seperti menyentuh sesuatu yang rapuh.
Rafky menunduk, menatap benda itu. Ia tak langsung menyentuhnya.
Tapi sesuatu di matanya mulai berubah.
“Dia nulis banyak,” lanjut Rafka pelan.
“Tentang lo, tentang gue, tentang... hari-hari terakhirnya.”
Rafky mengangkat tangan, menyentuh sampul itu dengan ujung jarinya. Ragu.
Seperti takut membuka sesuatu yang sudah lama dikunci.
“Gue rasa... lo perlu tau,” kata Rafka.
“Bunda gak pernah milih salah satu dari kita.”
“Dia cuma takut kehilangan... dua-duanya.”
Rafky menggertakkan rahang. Matanya mulai memerah lagi. Tapi kali ini tak ada ledakan.
Ia membuka halaman pertama.
Tulisan miring. Kecil. Rapi.
Waktu seolah berhenti saat matanya menyusuri baris-baris itu.
Ada tanggal.
Lalu kalimat.
Dan sebuah nama.
Hari ini Rafky pulang lebih malam. Katanya latihan presentasi. Aku bangga... tapi dia kelihatan sangat lelah. Semoga dia tahu, aku selalu memperhatikannya, meski dari jauh.

Rafky memejamkan mata. Mulutnya bergetar. Tapi tak satu pun suara yang keluar.
Rafka berdiri. Tak berkata apa-apa lagi.
Ia melangkah keluar dapur, membiarkan kakaknya sendiri—bersama hujan, bersama sunyi, dan bersama warisan terakhir dari seorang ibu… yang mencintai keduanya tanpa pernah bisa menunjukkan secara adil.
Rafky masih duduk di dapur yang dingin. Lampu temaram menggantung di atas kepala, memantulkan bayangan lusuh dari gelas yang belum disentuh.
Di hadapannya, agenda cokelat itu terbuka, halaman demi halaman menyimpan potongan waktu yang telah lewat.
Ia membaca pelan.
Catatan tentang ujian pertamanya.
Tentang malam ketika ia demam, dan Bunda hanya bisa menggenggam tangan karena tubuhnya terlalu lemah untuk bangun.
Tentang Rafka, yang katanya keras kepala, tapi diam-diam selalu memperhatikan kakaknya dari balik pintu.
Setiap kalimat membawa luka, sekaligus pelukan.
Dan ketika halaman terakhir tiba, jarinya terhenti.
Tertulis tanggal yang familiar.
Beberapa hari sebelum ibunya pergi… untuk selamanya.
Hari ini aku ingin bicara dengan Rafky. Tentang sesuatu yang selama ini kutahan... tentang rasa bersalahku...
Tapi mungkin nanti malam saja. Kalau dia pulang lebih awal. Kalau aku punya cukup—

Kalimatnya terputus di sana.
Tak ada titik.
Tak ada halaman lanjutan.
Hanya ruang kosong yang menyisakan tanya.
Seolah waktu pun menyerah… sebelum sempat menutup cerita.
Rafky menatap halaman itu lama.
Tangannya menggenggam ujung kertas, tapi tak tega melipatnya.
Air matanya jatuh—tanpa suara.
Membasahi tulisan terakhir yang tak pernah selesai.
Perlahan, ia menutup agenda itu.
Memeluknya erat ke dada.
Seolah di dalamnya… masih ada sisa suara yang ingin ia dengar.
Di lantai atas, Rafka duduk di tepi ranjang. Cahaya ponsel menyinari wajahnya yang letih.
Satu notifikasi muncul di layar:
Selamat! Kamu lolos ke final Olimpiade Fisika Tingkat Nasional.
Seharusnya ia bangga.
Seharusnya ada senyum, atau sedikit rasa lega.
Tapi yang terasa hanya… kosong.
Tangannya menggenggam ponsel erat, tapi matanya tak benar-benar melihat.
Yang ia dengar justru suara dari balik dinding.