Pagi masih kelabu. Awan menggantung rendah, dan jejak hujan semalam masih tertinggal di udara—sejuk, tapi berat.
Rafka menuruni tangga dengan langkah malas. Kaosnya kusut, rambut berantakan, matanya sembap.
Di dapur, Rafky sudah duduk lebih dulu. Diam. Menatap cangkir teh di depannya yang sudah dingin.
Tak ada suara, selain detak jam dinding yang pelan dan teratur.
Sunyi tetap menggantung di antara mereka—tapi, untuk pertama kalinya... tidak terasa menyesakkan.
Rafka membuka lemari, mengambil gelas tanpa berkata apa pun.
Tatapan mereka sempat bertemu—singkat, hambar, lalu berlalu begitu saja.
Ia menuang air pelan, lalu duduk di seberang Rafky.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Tak ada satu pun yang bicara.
Rafky hanya menatap teh dingin di depannya, jemarinya memutar sendok perlahan, tanpa tujuan.
Setelah beberapa detik, Rafky akhirnya bicara.
“Sorry,” katanya pelan, nyaris seperti gumaman. “kemaren gue mukul lo.”
Rafka menoleh sedikit, tak langsung merespons.
Tatapannya sempat menyapu wajah kakaknya, memar samar masih terlihat di pelipis, dan ada goresan tipis di dagu.
Lalu, setelah jeda sejenak, ia mengusap rahangnya pelan dan bergumam, “Pukulan lo lumayan juga. Gigi gue sampe goyang.”
Rafky terkekeh, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Tangannya terlipat di dada, matanya melirik adiknya.
“Gue kira, kemaren lo cuma gaya-gayaan.”
“Lo yang ngajak ribut duluan,” balas Rafka, sembari menyeruput air dari gelasnya. Nada suaranya datar, tapi tak sepenuhnya dingin.
Rafky tersenyum tipis. Perlahan, ia menurunkan tangannya dan mengambil sendok di meja. Jemarinya mulai memainkannya tanpa sadar.
“Iya, sih,” gumamnya pelan, “Tapi kemaren lo serius banget... udah kayak mau ngebunuh gue.”
Rafka menahan senyum. Sekilas, sudut bibirnya terangkat.
“Tapi nyatanya lo masih idup, kan.”
Rafky tertawa kecil—singkat, lelah, tapi tulus. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka duduk bersama… sebagai dua saudara.
Beberapa detik berlalu, hanya suara detik jam dinding yang terdengar pelan.
Rafky melirik adiknya sekilas, lalu menarik napas pelan.
“Gue denger… lo masuk final,” ucapnya pelan, “Ga sangka, adek gue jago juga”
Rafka tak langsung menjawab. Matanya bergerak ke arah jendela, menatap langit yang masih mendung.
“Hm,” gumamnya singkat.
Rafky menyipitkan mata, memperhatikan perubahan raut wajah adiknya.
“Kenapa? Lo keliatan gak seneng,” gumamnya curiga.
Ia menyandarkan lengan ke meja, suaranya lebih serius,
“Lo gak niat mundur lagi kayak waktu itu, kan?”
Rafka terdiam. Bahunya sedikit merosot. Tak ada jawaban, tapi cukup bagi Rafky untuk menebak.
Ia menghela napas. Tangannya mengusap pelan wajahnya, sebelum akhirnya bersuara lagi.
“Dulu… semua yang gue lakuin—ranking, lomba, prestasi, semuanya buat orang lain,” katanya lirih. “Buat Ayah. Buat orang-orang, supaya bangga sama gue.”
Matanya menatap lurus ke depan, tapi nadanya berubah lebih dalam.
“Dan rasanya hampa, Raf. Lo gak akan pernah ngerasa cukup kalau tujuannya bukan buat diri lo sendiri.”
Rafka mendongak, sekilas. Matanya tampak ragu, tapi ia tetap diam.
“Kalau kali ini lo maju…”
Rafky melanjutkan, lebih pelan,
“ya maju karena lo yang mau. Bukan karena Ayah, bukan karena Bunda… bukan karena siapa pun.”
Ia tersenyum kecil, letih tapi tulus.
“Lo pantes dapetin semua itu. Bukan cuma medali… tapi rasa puas. Karena lo gak lari lagi.”
Tak ada balasan.
Hening menggantung, seperti jeda yang enggan berakhir.