Rafka tiba di depan ruang ICU.
Di bangku kecil di seberang pintu, Rafky duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, tangan mengusap wajahnya yang letih. Ia menoleh begitu mendengar suara langkah adiknya.
“Akhirnya dateng juga,” ujar Rafky pelan.
“Dari tadi, Ayah nanyain lo terus.”
Rafka tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menatap pintu di hadapannya.
Beberapa detik kemudian, ia mendorongnya perlahan.
Di dalam, ruangan tampak hening. Ayah mereka masih terbaring lemah—mata terpejam, wajah pucat, tapi lebih tenang dari sebelumnya. Napasnya pelan, tapi mulai teratur.
Rafka mendekat, berdiri di sisi ranjang.
Tangannya terulur… menggenggam tangan yang dulu terasa begitu jauh.
“Yah…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tak ada jawaban.
Ia menggenggam lebih erat, kali ini dengan sedikit keyakinan.
“Aku udah dateng…”
Di belakangnya, Rafky bersandar di dinding—diam, menahan napas.
Beberapa detik berlalu.
Kelopak mata itu mulai bergerak—pelan, berat.
Saat terbuka, pandangannya masih buram… tapi cukup untuk mengenali wajah di depannya.
Rafka tak bicara. Hanya berdiri di sana, diam, matanya tak berkedip.
“Adek…”
Suara itu nyaris tak terdengar—lemah, tapi cukup untuk merobohkan sesuatu di dada Rafka.
Ia langsung menggenggam tangan ayahnya, lebih erat dari sebelumnya.
Pria tua itu tersenyum tipis, dengan napas yang masih terengah.
“Maafin… Ayah…”
Suara itu terdengar pelan, parau, dan terputus-putus seperti ditarik dari napas yang tinggal separuh.
jemari tuanya bergerak—gemetar, tapi mencoba menggenggam balik.
“Ayah sudah terlalu keras…” ucapnya, disela-sela napas pendek dan berat.
“Ayah pikir… itu satu-satunya cara biar kalian kuat. Biar gak hancur… kayak Ayah dulu.”
Wajahnya menegang sesaat, lalu melonggar, seolah menahan rasa sesal yang tak bisa ditahan lagi.
Ia menoleh perlahan, pandangannya mengarah ke sisi lain ruangan.
“Rafky…”
Rafky mendekat. Tak banyak bicara. Ia hanya memegang tangan ayahnya, seperti yang pernah ia lakukan diam-diam di malam sebelumnya.
“Maafin Ayah juga… buat semua luka yang kalian pendam sendiri…”
Ia terbatuk kecil, dada naik turun dengan susah payah.
“Dulu Ayah cuma berharap kalian jadi yang terbaik. Tapi Ayah lupa… kalau kalian juga butuh dipeluk, bukan cuma ditekan.”
Tak ada yang bicara. Hanya suara mesin yang terus berdetak di sudut ruangan.
“Ayah bangga sama kalian,” ucapnya lirih.
Senyum kecil mengambang di wajah lelah itu, penuh sayang dan penyesalan.
“Tapi mulai sekarang… jangan kejar harapan Ayah lagi. Kejar milik kalian sendiri.”
Rafka menunduk. Bibirnya sempat terbuka, tapi tak ada suara keluar.
Hanya napas berat dan jemari yang menggenggam lebih erat.
Di sisi lain, Rafky terdiam. Pandangannya tak lagi tajam hanya teduh, seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas setelah bertahun-tahun menahan.
Untuk sesaat, dunia seolah berhenti.
Memberi ruang bagi luka.
Dan kesempatan… untuk memaafkan.
⋇⋆✦⋆⋇
Di lorong rumah sakit, suara langkah terdengar pelan. Langit di luar mulai gelap, tapi lampu-lampu putih di koridor tetap menyala, membingkai siluet seorang anak laki-laki yang tengah termenung.
Rafka duduk di kursi tunggu, tubuhnya sedikit membungkuk, pandangannya kosong menatap lantai. Jemarinya saling bertaut di pangkuan. Napasnya lambat, tapi belum sepenuhnya tenang.
Tak lama, Rafky menyusul. Ia tak bicara, hanya duduk di samping adiknya. Satu lengannya bersandar santai ke sandaran kursi, sementara satunya menggantung di lutut.
Hening di antara mereka. Tapi bukan hening yang menyakitkan.
Lebih seperti jeda… yang akhirnya bisa dihirup tanpa takut.
Rafky melirik adiknya sekilas. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Lo tau, kan?” gumamnya pelan.
“Kita bakal baik-baik aja.”
Rafka tak langsung menjawab. Tatapannya kosong sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan.
“Gue emang masih belum yakin... tapi gue pengin percaya,” ucapnya lirih.
Rafky menoleh. Menatap wajah adiknya.