Kini dua belas tahun berlalu sejak hari itu. Jaka masih seorang pemuda tanpa ambisi besar yang menjalani hidup dengan biasa biasa saja, seperti air mengalir. Ia lulus kuliah tepat waktu dan menjadi sarjana teknik lima tahun lalu. Dan sekarang jaka bekerja membantu ayahnya di kedai eskrim sederhana yang sudah menjadi usaha turun temurun keluarga sejak zaman kakeknya.
Rencana kedepannya, jaka akan mengambil alih usaha kedai eskrim itu jika ayahnya sudah tidak ada. Bukan karena ingin, tapi hanya iya yang tersisa. Kakanya telah dibawa pergi suaminya setelah menikah dan tinggal di luar kota. Jadi, jaka merasa meneruskan kedai itu otomatis menjadi tugasnya.
Sesekali jaka juga bersama Tia, mengantarnya kesana kemari. Sejak perkenalan di UKS itu, jaka dan Tia mulai berteman. Hampir setiap hari mereka mengobrol. Awalnya karena arah jalan pulang yang sama. Lama lama, kecocokan dan kenyamanan membuat keduanya jadi sepasang sahabat dan hampir tidak terpisahkan.
Kadang kadang, ketika mendengar Tia bercerita soal mimpinya, atau melihat berbagai usaha yang di lakukan Tia untuk menggapai mimpinya seperti berkali kali ikut audisi menyanyi jaka jadi bertanya tanya sendiri. Sebenarnya apa impian jaka? Apa hal yang paling berharga dan ingin digapainya, seperti Tia yang ingin menjadi penyanyi? Kenapa jaka tidak punya mimpi besar semacam itu? Tia yang lebih muda darinya bahkan sudah memiliki gambaran jelas akan mimpinya yang ingin digapai sejak kecil. Kenapa dia terus berusaha dan pantang menyerah?.
" Mungkin selama ini aku mimpi ketinggian ya? "
Sebuah pertanyaan yang bertolak belakang dengan semua hal yang sedang di renungkannya, membuat jaka seketika menoleh.
" Ngomong apa sih kamu? " Jaka menyentil pelan telinga Tia yang kini di sampingnya.