SEBUAH ROMANSA PUTIH
Dua pemuda Dukuh Trowulan, Hendro dan Bolet, masih betah menikmati keelokan sungai Dukuh Trowulan yang masih asri dan airnya yang terkenal jernih. Dua pemuda pembobol rumah kosong ini bersila di atas bale bambu pinggir sungai ditemani beberapa botol minuman memabukkan.
Sore hari mulai memerahkan warna langit Dukuh Trowulan. Semerbak merah terlihat lebih tebal di ujung barat Bukit Trowulan, tempat dimana matahari tuju sepulang kerja.
Iring-iringan burung manyar terbang pulang tidak ingin ketinggalan ikut meramaikan rona langit Dukuh Trowulan.
Bolet, yang lebih muda, lebih banyak mempunyai lubang tindik di daun kupingnya, sibuk dengan botol yang ada gambar badaknya. Bolet menenggak bir sambil sesekali menengadah ke langit. Serombongan manyar tanpa bekal makan malam melintas langit sungai menarik perhatiannya.
Bolet girang melihat sepasang manyar terbang terpisah dari rombongan. Dua sejoli, pikir Bolet.
Hendro melirik Bolet. Hendro, tangan kirinya menggenggam botol ikut mendongak, tapi fokus mata Hendro tidak pada kloter burung yang makin giat melintas, tapi pada langit yang mulai jauh dari kata cerah.
Sudah waktunya untuk mengakhiri aktifitas haram mereka.
"Let, botolnya beresin. Aku takut ada yang datang kesini."
"Takut ada yang datang? Maksud Mas? Haiik!" tanya Bolet setengah teler.
Hendro justru bertanya balik dengan ketidaktahuan Bolet, perihal cerita orang dukuh tentang Si Putih. Gadis hantu yang kerap mendatangi tempat mereka melakukan ritual minum saat ini.
"Gimana kamu, cerita dukuh sendiri gak tau?"
"Si Putih.. Si Putih?" potong Bolet coba mengingat-ingat.
"Sepertinya aku pernah lihat sekali, Mas. Kalo gak salah waktu sore-sore aku lewat puskesmas Trowulan." Bolet punya satu cerita tentang Si Putih.
Hendro menyimak.
"Waktu itu, aku lihat sekilas bayangan putih lewat belakang puskesmas Trowulan. Rambutnya panjang, mas. Trus dia kabur waktu dikejar mahluk berkaki empat, dan mengeluarkan suara gukguk gukguk dari mulutnya. Dia larinya cepet banget, mas! Serem pokoknya mas, saya sampe merinding sendiri!"
Hendro tampak kesal, "Kamu lihat bayangan Si Putih. Apa lihat Bu Bidan dikejar anjing?"
"Ehh lain, ya?" Bolet meringis.
"Gakguk gakguk berkaki empat? Mulutmu Ribet!" Hendro tidak bisa menerima karangan Bolet.
"Maklum Mas, kan aku gak menekuni bidang perhantuan." elak Bolet.
Dituduh menekuni bidang perhantuan, Hendro kepalang tanggung untuk bercerita lebih lanjut.
Tentang penampakan Si Putih di lingkar tanah pemakaman dan sungai. Tentang orang-orang dukuh yang pernah melihat penampakan Si Putih di rumah Bibik penjaga pemakaman.
"Rumah Bibik penjaga pemakaman, Mas?" tanya Bolet serius.
"Iya, konon Bibik penjaga pemakaman ini yang menolong disaat menjelang akhir hidup Si Putih. Hubungan batin mereka jadi dekat."
Hendro menambahkan, menurut kabar beredar, Si Putih hanya hantu penasaran yang masih merindukan kekasihnya. Dan Putih jarang menampakkan diri untuk mengganggu atau menakuti orang desa.
Hendro melihat langit berangsur gelap, "Selain muncul di pemakaman, kata orang-orang Si Putih juga sering ke sungai ini. Makanya aku ngajak bubaran sebelum Putih datang ke sini."
"Si Putih datang ke sini?" Bolet telat sadar.
Dengan cekatan Bolet membereskan botol-botol cairan tidak halal mereka dari atas bale dan memasukkannya ke kantong kresek.
"Ayo pulang, Mas. Aku lupa belum ngasih makan ayamku." gegas Bolet.
"Aku gak tau kamu piara ayam?!"
"Memang gak punya, Mas. Ini rencananya mau beli dulu. Ayo Mas, kita beli ayam." dengan cerdas Bolet membelokkan motif ajakannya.
Bolet langsung menjauhi bale bambu dan menuju ke atas lereng, dataran yang lebih tinggi dari ranah sungai.
Bolet menunggu langkah lambat Hendro dengan duduk di atas motor.
Beberapa jarak meninggalkan sungai dan tanah pemakaman setelahnya, motor dua pemuda ini mulai melintasi rumah Bibik penjaga pemakaman yang berhadapan dengan rumah besar bekas rumah keluarga Si Putih.
Rumah rapuh Bibik, tembok rontok di sana-sini hingga terlihat batu batanya, berhadapan dengan kokohnya rumah berlantai dua bercat warna gading.
Kedua rumah disambungkan oleh sebuah kabel tebal, penerangan rumah Bibik penjaga pemakaman bergantung pada rumah di depannya.
Pepohonan berjajar berdiri lebih rimbun di belakang rumah Bibik penjaga pemakaman.
Setelah lahan lapang, motor melewati sebuah rumah sederhana milik Gama, pemuda cinta terakhir Si Putih. Rumah Gama sejajar dengan rumah besar.
Kemudian motor keluar dari gang makam dan melintasi jalan beraspal dua lajur. Jalan utama Dukuh Trowulan.
"Rumah di gang makam cuma tiga ya, Mas?" kata Bolet menyempatkan menengok ke gapura gang makam. "Sepi sekali, tiga."
Beruntung, dua pemuda figuran pengantar cerita romansa ini dengan selamat meninggalkan gang makam, gang dimana kabar Si Putih kerap beredar.
Jika saja mereka bertemu Si Putih, besar kemungkinan Si Putih akan bertemu dengan mereka.
###
Bulan telah menggantung di atas Dukuh Trowulan. Dapat dipastikan tidak ada orang dukuh pergi ke pemakaman, Putih memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya, dari rumah Bibik penjaga pemakaman.
Selama ini Bibik meminta Putih untuk dalam tanda kutip 'menginap' di rumah Bibik ketimbang kembali mendiami rumah lamanya. Keluarga Putih memutuskan untuk menjual rumah sepeninggal Putih.
Bibik penjaga pemakaman tidak mengijinkan Putih keluar di terik siang. Dan sekarang Putih sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu 'tidak' di rumah Bibik.
Putih membawa langkah tanpa alasnya langsung menuju sungai desa, salah satu tempat favoritnya untuk menyendiri dan jauh dari penampakan hantu lain.
Pula Putih rindu pada salah satu lapak kenangannya bersama Gama.
Setelah menuruni lerengan tanah liat yang sudah dibentuk berundak-undak menjadi anak tangga.
Putih berdiri berjarak sedepa dari jangkauan aliran Sungai.
Raut pucat Putih langsung tersenyum ketika pertama memandang riak permukaan air. Tidak ada yang lebih menenangkannya saat ini selain derap tenang air sungai Dukuh Trowulan. Aliran sungai Dukuh Trowulan ibarat air suci bagi jiwa lelah Putih.
Putih menoleh ke bale bambu yang berada beberapa meter darinya. Putih berniat menyelami pemandangan sungai untuk mengenang Gama, kekasih terakhirnya, sembari duduk lama di bale bambu.
Ketika hendak melangkah ke bale, sudut pandang Putih menangkap sesuatu yang tidak biasa.
Seekor ikan mas berwarna merah cerah berenang di tepian sungai dekat kaki Si Putih. Bening air dan cahaya bulan menembus hingga dasar sungai, berhasil menampilkan ikan mas tampak sangat hidup.
"Wii, cantiik!" lirih Putih merapat pada air.
Putih menekuk lutut. Pemandangan ikan mas terlihat lebih nyata baginya. Sesaat kemudian muncul seekor ikan mas lain, kali ini berwarna hitam.
Dua ikan mas berenang di depan Putih.
Putih mengulurkan tangan. Telapaknya berusaha mengikuti gerak ikan. Putih tertarik untuk menyentuh ikan mas warna merah.
Gerak tangan Putih terhenti ketika sebuah suara lirih terdengar muncul dari seberang sungai. Tidak jelas, suara itu terdengar antara tawa dan tangis.
Pandangan Putih perlahan menyisir area seberang Sungai. Tapi hanya pemandangan gelapnya rimbun dedaunan yang ia dapatkan. Tidak ada gerakan dari sesosok apapun yang mungkin menjadi pemilik suara tawa tangis yang ia dengar tadi.
Putih kembali menunduk.
Putih kaget dan perlahan menarik tangannya ketika air di sekitar ikan mas hitam berangsur menghitam. Seakan warna sisik ikan mas warna hitam meluntur.