2.
Para ayam jago sudah sedari tadi berhenti berkokok. Secercah terang mulai nongol di timur bukit Trawas. Tidak lama lagi matahari akan berangkat kerja.
Putih berdiri di ambang pintu depan rumah Bibik, menilik lampu bolam menggantung di rumah besar yang belum dimatikan. Bahu kanan Putih bersandar lemah pada kusen pintu.
Putih selalu senang memandangi lampu bolam itu pada awal hari dan di kala petang datang.
Di pagi hari, kilau sinar matahari yang tepat terpantul pada lampu bolam, selalu bisa menjadi pemandangan indah bekal Putih untuk kembali bersembunyi di kamar belakang rumah Bibik. Dan pada saat petang. Lampu bolam yang menyala menjadi tanda bagi Putih untuk tidak lagi harus bersembunyi.
Putih beralih menerawang jauh ke arah rumah Gama. Putih membidik lama detail rumah Gama sebelum datang suara dari arah belakang menggugah lamunannya. "Lupakan Gama.."
Bibik penjaga pemakaman pemilik suara itu, sudah berdiri di pintu kamar depan, "Bibik gak ingin kamu kembali membayangkan Gama." Bibik mengulang pesannya.
Bibik merapat ke Putih. Bibik berdiri di samping-belakang mengawal Putih. "Bibik tahu kamu bisa." teguh Bibik.
"Aku sudah melupakan dirinya, Bik." Putih menekan suaranya. "Sudah melupakannya."
Bibik hendak menyentuhkan telapaknya pada pundak Putih tapi urung. Bibik sangsi dan menurunkan kembali tangannya. Bibik ingin sekali memeluk Putih yang mungkin bisa menenangkan Putih.
"Kamu pikirkan kembali jati diri kamu. Untuk sementara, yang bisa kamu lakukan adalah berusaha untuk melupakan dan memaafkan masa lalu kamu." urun Bibik bernada simpati.
Putih tertunduk. Putih terjepit diantara pesan Bibik yang terasa berat namun di sisi lain bertujuan untuk kebaikannya. Pesan yang jika memungkinkan, ingin ia injak-injak patah.
"Mengingatnya hanya akan menyakitimu." tambah Bibik selembut mungkin.
"Bibik.." suara Putih mereda.
"Ya, sayang?"
Putih berbalik menghadap Bibik, tetapi tidak berani menatap langsung mata bijak Bibik jika bicara yang berkaitan dengan Gama, "Menurut Bibik, apa dia sudah melupakan aku?"
Bibik menguatkan diri untuk bisa berbunyi, "Seandainya Gama masih ingat dan cinta, tapi dunia kalian sudah gak lagi sama, sayang.."
"Gitu ya, Bik." suara Putih hampir senyap. Mendengar ucapan terakhir Bibik, Putih memutuskan langsung bergegas ke kamar belakang.
Ocehan yang ia hindari semalam pada akhirnya muncul juga, ‘Lain dunia'.
Satu hal yang Putih tidak mengerti, selain tidak mengijinkannya keluar di siang hari yang memungkinkannya bisa bertemu Gama. Bibik juga melarangnya masuk ke rumah lamanya, rumah besar, tetapi Bibik terus mengatakan rumahnya belum terjual. Putih tidak tahu pasti alasan Bibik harus melarangnya masuk rumahnya sendiri.
Sementara itu Bibik hanya tertunduk lesu, telah mengatakan apa yang harus ia katakan. Sebuah kebenaran yang mungkin bisa menahan laju Putih memburu angan yang menyakitkan.
Berganti Bibik penjaga pemakaman yang menoleh jauh ke arah rumah Ari, "Bukan salah Gama tidak menyadari kehadiranmu.." Bibik berbisik pelan yang hanya terdengar olehnya. Bisikan yang sebenarnya ingin ia tujukan untuk Putih.
Bibik beranjak masuk, "Tidak semua yang kamu lihat Bibik bisa melihatnya. Tapi Bibik melihat apa yang tidak kamu lihat."
"Bibik melihat yang tidak ingin kamu lihat, sayang.."
###
Sebuah minivan merapat ke depan rumah besar. Oki, pembantu di rumah besar, keluar dari pintu tengah membawa dua tas kresek besar berisi belanjaan. Oki memasuki rumah.
Jimi, sopir keluarga, meludahkan permen karetnya keluar jendela, sebelum memutar balik mobil di samping rumah, tanah tempat minivan terparkir di malam hari. Jimi melongokkan wajahnya ke spion, memastikan rambut klimisnya tidak berantakan.
Tidak lama, lbu Ros, pemilik terbaru rumah besar bercat putih gading itu, keluar rumah dan masuk ke mobil yang telah kembali terparkir halaman. Ibu Ros, duduk di kursi depan samping Jimi. Tak lama kemudian, Dewi, anak pertama Ibu Ros, mengenakan seragam satu instansi perbankan swasta, menyusul Ibu Ros keluar rumah masuk pintu tengah minivan. Sesaat kemudian, minivan meninggalkan halaman rumah besar untuk mengantar lbu Ros ke rumah makan miliknya dan Dewi ke tempat kerja.
Di pintu depan rumahnya, Bibik penjaga pemakaman menyempatkan diri mengenakan kalung berliontin kayu. Bibik merapikan rambut panjangnya yang selalu terurai sebelum keluar rumah. Satu tangannya menjepit rokok yang baru dibakar.
Bibik keluar rumah tepat berpapasan dengan Nala, anak bungsu Ibu Ros, keluar dari pintu rumah besar. Nala mengenakan seragam sekolah abu-abu dan tas hitam di bahu, Tangan kanan Nala menenteng rantang susun.
Bibik melempar senyum pada Nala. Nala membalas balik dengan juga tersenyum.
"Berangkat?" tanya Bibik sopan.
"Ya, Bik."
Nala melangkahkan kaki lebih cepat meninggalkan Bibik. Nala tidak ingin lama berbasa-basi, ia tidak diperbolehkan lbu Ros terlalu akrab dengan Bibik penjaga pemakaman.
Dari belakang, Bibik memperhatikan Nala mampir ke rumah Gama sebelum berangkat ke sekolah. Entah kebetulan atau tidak, Bibik pikir, Gama menyukai tipe cewek dengan rambut panjang tidak lebih dari sebahu.
Bibik melihat dan menghitung, sudah hampir lima bulan ini Nala dekat dengan Gama. Tepat sejak sebulan setelah Nala sekeluarga minus ayahnya pindah ke Dukuh Trowulan.
Bibik senang Nala bisa menikmati kebersamaan dengan Gama, tapi di satu sisi ada perasaan yang mengganjal berat dalam hatinya. Bibik mendapat firasat tentang sesuatu yang buruk akan terjadi di rumah besar warna gading itu.
Tetapi dengan usia yang telah melewati setengah baya, Bibik berusaha bijak. Bibik penjaga pemakaman selalu memilih sisi positif dari apa yang dilihatnya sekarang.
"Mungkin ini sudah jalannya." batin Bibik.
Bibik melanjutkan langkah kakinya ke warung Bu Piye.
###
Gama keluar kamar mandi dengan handuk membelit tubuhnya. Gama mendapati Nala di dapur menuangkan air panas ke mug kopinya. Gama langsung mengembangkan senyum.
Bagi Gama, sejak Nala hadir ke Dukuh Trowulan, Nala menjadi sumber rasa bahagia barunya. Nala selalu bisa menghadirkan keceriaan di tengah kesendiriannya.
Langkah Gama menjadi lebih ringan dengan adanya Nala, seakan Gama adalah manusia tanpa beban masa lalu. Dan Nala lebih mengena di hati Gama dibanding cewek-cewek yang Awang pernah perkenalkan padanya.
Gama kini sedang kasmaran.
Nala seketika menoleh mendengar suara sandal basah Gama, "Merebus air kok ditinggal-tinggal! Airnya kering gak bisa minum kopi, Kak Gama...!"
Penglihatan Gama langsung tertuju pada meja makannya yang berbentuk bulat, Gama mendapati rantang susun yang asing ia lihat di rumahnya, "Apaan nih?"
Gama membuka tutup rantang, "Wiih, nasi goreng."
"Yang masak aku loh, Kak." seru Nala membanggakan diri. Nala mantap hati, nasi goreng buatannya yang bekerjasama dengan Dewi tidak akan mengecewakan. Pula tidak ragu menjadi anak dari ibu yang mempunyai usaha jurusan kuliner.
"Wah, mudah-mudahan enak, nih."
"Dicicipin dulu dong, baru komentar."
"OK. Aku ganti baju dulu." Belum jauh dari meja makan, Gama kembali menengok, "Ses Oki pulang kampung lagi ya, kok kamu yang masak?"