Sebuah Romansa Putih

Arifzu
Chapter #3

Babak ketiga Romansa

.3.

 

Bibik penjaga pemakaman keluar rumah membawa ember berisi baju cucian untuk dijemur. Bibik keluar rumah berbarengan dengan Ibu Ros muncul dari dalam rumahnya. Ibu Ros tampak mengapit tas kecilnya.

Ketika pandangan Ibu Ros dan Bibik saling bertemu. Keduanya saling memberikan tatapan tidak simpatik.

Sejak pertama pindah ke Dukuh Trowulan, Ibu Ros tidak pernah suka kepada Bibik. Apalagi ketika Ibu Ros mendengar, selain menjahit, sebagian besar waktu Bibik adalah untuk mengurusi pemakaman. Karena itulah Bibik lebih dikenal sebagai Bibik penjaga pemakaman, jarang ada yang mengetahui nama asli Bibik.

Ibu Ros bahkan curiga Bibik bisa bicara dengan penghuni pemakaman. Tapi sebagai orang baru, ia belum bisa membuktikannya.

Ketidak sukaan Ibu Ros kepada Bibik seperti juga ketidak sukaaannya kepada Gama, ia tularkan kepada kedua anaknya. Itulah kenapa Nala jarang mau berbasa-basi dengan Bibik. Tapi untuk ketidak senangan Ibu Ros kepada Gama, Nala memilih jalan lain. Nala memasang kaki di dua sisi yang berseberangan.

Ibu Ros menatap tidak simpatik pada Bibik, Bibik yang tidak ingin kalah membalas tatapan Ibu Ros dengan tatapan sebal.

Ibu Ros masuk mobil dan duduk di kursi depan. Ibu Ros tidak putus memandang ke arah Bibik yang tengah menjemur di samping rumah, tentu masih dengan pandangan tidak senang.

Bibik selesai menjemur. Bibik yang beringsut ke dalam rumah. Tidak lama, berganti Nala dan kakaknya, Dewi, keluar rumah besar untuk kemudian masuk mobil, keduanya duduk di kursi tengah.

Jimi menginjak pedal gas, minivan mulai meluncur dan dalam hitungan helaan napas, minivan melangkah di depan rumah Gama. Pintu rumah Gama tampak terbuka.

Sekilas Nala ingin sekali bisa mampir ke tempat Gama sebelum berangkat ke sekolah, tapi hari ini tidak ada yang bisa ia jadikan alasan seperti kemarin.

Dewi melihat Ibu Ros tidak melirik ke belakang. Biasanya Ibu Ros tidak sungkan menunjukkan ketidak kesukaannya pada Nala jika ketahuan Nala melirik ke rumah Gama.

Dewi menarik kepala Nala menyandarkannya ke bahunya, merekatkan kedua seragam mereka dan bersama memandang jauh ke luar jendela.

“Semoga harimu secerah hari kemarin.” bisik Dewi, “Hari dimana kamu bisa berangkat bareng Gama.” imbuh Dewi dalam hati.

Sejak perpisahan ayah-ibunya, Dewi lebih protektif kepada Nala. Dewi tidak akan membiarkan siapapun mengusik kebahagian Nala. Sebisa mungkin Dewi akan membuat Nala setidaknya untuk tersenyum.

Minivan mulai meninggalkan gang makam. Mobil keluarga melintasi jalanan utama Dukuh Trowulan mendapat pemandangan baru, hamparan pepohonan dan persawahan berlatar belakang bukit Trawas.

#-#-#

 

Bibik penjaga pemakaman memasuki gang makam sepulang membeli bunga dari warung Bu Piye. Bibik menghentikan langkahnya ketika hampir melewati rumah Gama. Bibik melihat Nala yang tampaknya sudah cukup lama berdiri di depan pintu Gama.

“Kak Gama....!” seru Nala menggoyang-goyang handle pintu rumah bernomor tujuh itu.

Nala berusaha untuk bisa masuk tetapi pintu terkunci. Tidak seperti kemarin, Gama lupa meninggalkan kunci rumahnya di bawah keset welcome. Gama juga lupa memberi tahu Nala jika dirinya hari ini kembali berangkat ke kantor penerbit.

“Kak Gama kemana lagi, ya?” Nala mengetuk-ketuk pintu bercat hijau itu. Tidak juga ada jawaban dari dalam.

Bibik menjentikkan abu rokoknya dan merapat ke Nala yang siang ini sudah tidak berseragam putih-abu, “Gama pasti sedang keluar.”

Seruan Bibik mengagetkan Nala. Nala menoleh ke Bibik, “Oh iya, Bibik. Kak Gama sedang keluar, ya? Kalo gitu saya pulang aja.”

Nala bergegas meninggalkan halaman rumah Gama.

Nala melangkahkan kaki relatif lebih banter, ia tidak ingin berjalan bersampingan dengan Bibik penjaga pemakaman. Nala masih menggenggam pesan dari ibunya.

“Nala!” panggil Bibik.

Nala melambatkan langkahnya mendengar panggilan dari Bibik. Dengan berat Nala berusaha menoleh ke Bibik. Bibik menyusul posisi Nala.

“Ses Oki kemarin minta tolong ke Bibik buat jahitin baju. Sekarang bajunya sudah jadi. Bibik minta tolong kamu, bajunya kasih ke Ses Oki, ya?” pinta Bibik.

Nala hanya mengangguk.

Nala menunggu Bibik mengambil baju Oki dengan berdiri di pintu rumah Bibik. Indera penciuman Nala menangkap wewangian yang berasal dari dalam rumah Bibik. Nala mengagumi harum rumah Bibik dan memasukkan sebagian tubuhnya ke dalam rumah.

“Bau rumah Bibik ini enak. Wangi bunga di mana-mana.” puji Nala mengenduskan hidungnya.

Indahnya beberapa kelopak bunga tersebar di lantai rumah mengimingi Nala untuk juga menghadirkan bunga di kamarnya nanti. Setelah dari rumah Bibik, Nala ingin langsung ke warung Bu Piye.

“Bibik lama banget?" Meski menikmati wanginya, Nala tidak sabar berdiri lama di depan rumah Bibik.

Nala menutup bibirnya dengan telapak tangan. Nala cemas, mendadak terbayang Bibik penjaga pemakaman menyimpan sesuatu yang tidak wajar di dalam rumah. Persis seperti cerita yang ia dengar dari Ibu Ros.

“Aku hitung sampai sepuluh. Kalo Bibik gak keluar, aku akan pergi.” Nala tidak sabar mulai menghitung. “Satu, dua, tiga.....”

“...sembilan, sepuluh.”

Nala berangsur mundur menjauhi rumah Bibik. Nala langsung berbalik berjalan ke rumahnya. Dengan wajah ketakutan Nala mempercepat langkahnya.

Nala buru-buru memasuki pintu kembar rumahnya.

Tidak lama Nala meninggalkan rumahnya, Bibik keluar kamar membawa baju milik Oki. Bibik kehilangan Nala yang tadi berdiri di pintunya, “Nala mana?”

Bibik memandang lama pintu rumah besar, penasaran kenapa Nala tidak mau menungguinya mengambil baju Oki.

Bibik menyibakkan rambut panjang terurainya yang tersapu angin yang lewat. Bibik kembali membawa baju Oki masuk kamar.

#-#-#

 

Menjelang petang. Putih keluar kamar untuk melihat lampu penanda dirinya bisa bebas keluar dari penjara bernama siang hari. Lampu bolam belum menyala. Putih patah arang.

“Rumahku udah ada yang beli ya, Bibik?” tanya Putih, tahu Bibik baru saja keluar dari kamar depan dan mengawasinya.

“Ee belum... belum ada...” jawab Bibik terbata.

“Trus tadi siang Bibik tadi ngobrol sama siapa?” lirih Nala dengan nada heran.

“Ngobrol…?” Bibik gugup.

Putih selalu curiga pada Bibik yang sering mengatakan ‘melihat yang tidak ia lihat dan Bibik tidak bisa melihat apa yang Putih bisa lihat’. Sebuah frasa kalimat yang sengaja Bibik ciptakan untuk menjadikan dirinya bingung. Putih tidak tahu maksud Bibik, ia curiga siang tadi Bibik berbicara pada apa yang tidak bisa ia lihat. Putih ingin penjelasan Bibik.

“Ngobrol, ya? Eh, Bibik gak ngobrol sama siapa-siapa...” Bibik kembali tergagap.

Putih tidak mempercayai Bibik. Putih tahu Bibik tidak pandai berbohong.

“Trus tadi suara yang aku dengar apa?” selidik Putih.

“Kalo Bibik ketemu seseorang, kan Bibik selalu cerita ke kamu.”

Bibik tampak gelisah, ia telah memilih jawaban yang salah, sepertinya Putih tidak bisa menerimanya. Bibik kesal, kenapa ia tidak bisa pintar untuk menemukan jawaban yang bagus jika sedang terdesak.

Putih berbalik menghadap Bibik, sebelum beranjak kembali ke kamar belakang dengan kecewa.

Bibik hanya bisa pasrah jawabannya kurang memuaskan Putih, ia sudah berusaha yang terbaik.

Dari awal, Bibik tidak ingin cerita Putih tersambung dengan cerita Gama. Sekarang semuanya sudah terlambat.

Lihat selengkapnya