Sebuah Romansa Putih

Arifzu
Chapter #4

Babak keempat Romansa

.4.

 

Agenda Dewi libur minggu ini adalah mengajak Nala untuk perawatan dan memulihkan diri dari kejenuhan hari-hari berseragam. Dewi sudah memesan dua paket perawatan di salon kota langganannya untuk siang ini.

Dewi berdiri di pintu kamar, menunggu Nala merapikan dandanan di depan cermin. Jalan-jalan akhir pekan ini, Dewi dan Nala kompak memakai setelan berwarna terang.

“Nala ayo buruan, Ibu udah nunggu.”

“Memangnya, salonnya udah buka, masih pagi, kok?” sahut Nala.

“Ya kita ke rumah makan dulu. Ibu suruh aku untuk cek pembukuan rumah makan.”

Nala membaca gelagat lain dari bicara Dewi. Dewi jarang menjadikan Ibu Ros sebagai alasan untuk mendesaknya bergegas lebih cepat.

“Sepertinya yang gak sabar bukan ibu, tapi Kak Dewi, nih?” ucap Nala curiga.

“Iya deh, Kak Dewi ngaku. Kak Iwan tadi telpon, katanya dia udah berangkat. Kita ketemuan di rumah makan.” Dewi tidak ingin Iwan, kekasihnya, menunggu lama di tempat Ibu Ros.

“Tuh kan, ketahuan…”

“Ya kan Kak Dewi juga pingin pacaran…” balas Dewi malu-malu.

“Ciee, Kak Dewi…”

Nala melonggarkan sedikit lilitan gaun bersabuknya. Nala merasa dirinya sudah cukup layak untuk tampil. Nala menyamperi dan merangkul Dewi untuk meninggalkan kamar.

Sebelum keluar rumah, Dewi mampir ke dapur mendatangi Oki yang tengah mempersiapkan bahan untuk memasak sayur. Dewi ingin memberi sebuah pesan pada Oki seumpama Iwan kembali menelpon ke rumah.

#-#-#

 

Pagi ini Putih melangar dua janji.

Janji kepada Bibik untuk tidak keluar di hari yang masih terang dan janji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mendatangi rumah Gama.

Putih mengendap menghindari Bibik untuk bisa keluar rumah. Dorongan kuat ingin melihat Gama tidak lagi bisa ia tahan.

Kini Putih ada di dalam rumah Gama. Putih berdiri di ruang depan. Pandangan Putih terpaku pada foto masa kecil Gama di dinding.

Putih mendekat perlahan ke dinding foto. Ia tidak akan bosan berdiri dan memandangi lama wajah Gama di foto. Putih tidak akan menyiakan momen seperti saat ini. Momen yang tidak banyak ia miliki.

Putih melirik ke arah ruang tengah, kepulan tipis asap rokok tertiup keluar dari dalam kamar menarik konsentrasinya memandangi lama foto Gama.

“Pasti rokok kretek…?” tebak Putih berbunga-bunga. Putih juga merindukan aroma khas rokok Gama. Putih sudah tidak punya indera untuk mencium, tapi ia sangat yakin asap di depannya berasal dari rokok kretek, tidak pernah berubah. Senjata andalan Gama dalam menulis.

Gama ada di kamar. Sekarang jarak Putih dengan Gama hanya beberapa meter dan hanya dibatasi sebuah dinding. Dibutuhkan tidak lebih dari lima langkah untuk ia bisa bertemu Gama.

Tapi Putih tersendat-sendat untuk maju lebih dalam dan menunjukkan dirinya pada Gama.

Langkahnya berat untuk diajak maju. Ketika hendak melangkah, seakan Putih sedang menggendong pohon buah mangga yang berbuah. Beratnya berlipat.

Putih menghayati sekali lagi foto Gama untuk menguatkan diri siap bertemu Gama.

“Ehh…!”

Bersamaan dengan itu, Gama yang tengah duduk di depan pentium empat, menoleh ke pintu. Ia merasakan kedatangan seseorang.

Gama meletakkan rokok di asbak di atas meja. Gama keluar kamar.

Gama mendapati ruang depan kosong. Putih yang baru ada dalam rumahnya telah menghilang. Gama melihat pintu, ia merasakan aura seseorang baru saja keluar melewati pintu.

Gama heran, tidak ada siapapun di depan rumah. Gama memandang sekeliling rumah juga tidak tampak seorangpun. Sebuah perasaan aneh yang sama dengan ketika tiba-tiba ia terbangun tempo malam juga kembali datang. Kali ini rasa itu bahkan lebih kuat dan lebih dekat.

Gama meraba bungkus rokok di saku celana tiga perempat. Gama spontan membakar satu batang, lupa jika ia sudah mempunyai rokok yang sudah menyala yang ia tinggal di kamar. Sekilas Gama kepikiran Putih, tapi ia memantapkan diri untuk tidak terbawa oleh celoteh orang dukuh tentang penampakan Putih di rumah Bibik.

Gama berbalik masuk. Ketika di batas ruang depan dan ruang tengah, Gama kembali menoleh ke pintu depan. Ia masih penasaran pada sosok yang telah memasuki rumahnya. Gama yakin seseorang memasuki rumahnya yang tidak berhasil ia ketahui siapa.

Sementara itu, Putih hanya bisa menunduk dan bersandar pada dinding samping rumah Gama. Putih langsung kabur ketika mendengar suara kaki kursi bergeser.

Putih kecewa tidak punya keberanian muncul kehadapan Gama. Putih justru menghindar ketika sudah sangat dekat. Keinginan kuat untuk bertemu Gama dikalahkan ketakutan akan bayangan reaksi Gama ketika melihatnya.

#-#-#

 

Putih meratapi cermin besar di dinding kamar belakang.

Putih tidak melihat bayangan dirinya di dalam cermin. Putih tidak bisa menerima keadaannya sekarang dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Putih kembali menghadap benda yang seharusnya bisa mencerminkan gambaran semua benda, Putih hanya diam menatapnya.

Bibik mendatangi kamar belakang, menemui Putih yang tertunduk di samping kaca, “Ada apa, sayang?”

Bibik merapat mendampingi Putih.

Apa yang Bibik takutkan jika Putih melanggar larangannya baru saja terjadi. Putih gagal membendung arus balik dari asa ingin bersama Gama yang jauh dari terwujud.

Bayangan jika Putih harus melihat Gama menemukan pengganti posisinya kembali menghantui Bibik. Bibik ikut putus harapan, ia belum menemukan jalan, bagaimana cara menghadapi Putih jika kelak hari itu datang.

Bibik tergerak untuk menenangkan Putih. Tapi Putih masih diam, tidak menanggapi seruan Bibik.

Bibik mengalah. Bibi ikut diam. Kali ini tidak ada perlawanan dari Bibik.

Bibik makin penasaran dengan drama yang ditayangkan rumah lama Putih kelak, sesuatu yang tidak pernah berani Bibik bayangkan. Sesuatu yang di luar kemampuannya bahkan hanya untuk melewatinya. Bibik berpasrah.

                                       #-#-#              

 

Sesi menulis Gama benar-benar goyah oleh kedatangan Putih. Mata Gama hanya menatap kosong layar monitor sedari pagi tadi. Gama mulai memikirkan kemungkinan keberadaan Putih di rumah Bibik penjaga pemakaman. Keyakinan Gama untuk tidak mempercayai cerita orang dukuh mulai runtuh.

Tapi Gama terus bertanya-tanya, jika benar perasaan tidak tenangnya disebabkan oleh keberadaan Putih, ia penasaran kenapa Putih menyembunyikan diri darinya.

Gama berusaha mengesampingkan kebenaran Putih yang mengganggu perasaannya tadi dan hari-hari sebelumnya. Gama terpikir untuk membeli bunga, mungkin dengan mengirim bunga dan doa, keberadaan Putih bisa lebih tenang. Dan Gama bisa lebih wajar menjalani harinya.

Gama mengakhiri prosesi menulis untuk menyempatkan membeli bunga di warung Bu Piye untuk dibawa ke pemakaman.

Lihat selengkapnya