Sebuah Romansa Putih

Arifzu
Chapter #5

Babak kelima Romansa

.5.



Gama memarkir motor di sela motor yang berjejer di parkiran depan pusat ruko Dukuh Trowulan. Motor bebek milik Bu Piye, sering ia bawa jika ada keperluan jauh dari rumah.

Gama menerawang jauh ke seberang dari tempat ia berdiri, mencari sosok Awang yang tidak terlihat di bengkelnya. Tidak ada bayangan Awang di bengkelnya sendiri. Hanya ada Febri, anak buah Awang, sibuk dengan motor rusak.

“Bu Piye orangnya baik, ya. Kak Gama sering pinjam motor, tapi Bu Piye nggak pernah sewot?”

Gama tidak merespon pertanyaan Nala.

“Kak Gama cari siapa?” Nala melempar pertanyaan baru.

“Awang. Tapi nggak ada. Mungkin lagi nyari barang.” Gama meninggalkan Nala yang pandangannya ikut mencari keberadaan Awang.

Nala setengah berlari menyusul posisi Gama, “Kak Gama hari ini kelihatan ceria. Nggak seperti kemarin, jutek. Aku jadi curiga?”

“Jutek salah, ceria dikritik. Ah sudahlah, namanya juga Nala?”

“Apa maksud Kak Gama, namanya juga Nala?” Nala membaca kalimat Gama meremehkannya. “Jawab!” paksa Nala meremas lengan Gama.

“Nggak ada. Hehe, galak banget!”

Nala hanya melengu.

Gama dan Nala memilih meja tengah di dalam salah satu ruko menyajikan beraneka menu berbahan utama es. Hari ini ruko sedang lengang, hanya ada beberapa pengunjung.

Gama dan Nala dengan tenang memesan es durian kesukaan mereka. Daya tarik es favorit keduanya ini yang menjadi alasan kuat Gama untuk tidak sungkan meminjam motor Bu Piye.

Gama dan Nala masih menunggu pesanan mereka, “Novelku sudah dibaca? Gimana, bagus?”

Nala melepas senyum, “Hm, baru sampai tengah nggak diterusin, malah Kak Dewi yang sudah baca sampai tamat.”

“Uh belum dibaca!” Gama melengu, “Uuh, Kak Dewi yang baca sampai tamat!”

Mas pemilik ruko mengantarkan dua mangkuk es durian ke meja Gama dan Nala, menyela perbicangan mereka.

Baru melihat lembut es krim berpemanis warna merah di sekeliling durian, Gama dan Nala menelan ludah.

Nala mencicip kuah es durian, “Kak Gama kalo bikin cerita muter-muter, jadi bingung bacanya, males mau nerusin sampai habis. Aku kasih novelnya ke Kak Dewi aja, kan Kak Dewi juga pingin baca.”

Tema horor terkadang memberi ruang Gama memainkan alur cerita novelnya maju-mundur, inti cerita tersimpan di bagian tengah atau bisa juga muncul di bagian awal atau akhir novel. Dan Gama sangat menikmati cerita-cerita dengan akhir yang tidak tertebak. Dan Gama berharap Nala menjadi pembaca pertama yang menyukai novel horor terbarunya.

“Kalau kamu mau baca sampai selesai, baru tahu indah alur ceritanya gimana.” jelas Gama membocorkan kunci menikmati utuh novelnya.

“Kata Kak Dewi ceritanya bagus sih, tapi aku terlanjur males mau tamatin baca. Nggak ada romantis romantisnya.” bujuk Nala mencari pembenaran.

“Uh alasan.”

Nala mengaduk durian berenang di kuahnya. Keduanya mulai kompak menyendok es dan melumerkannya di lidah. “Kak Gama nulis yang ada romantisnya sekali-kali. Ntar aku baca." Nala mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya yang tanpa kutek pertanda janji.

“Aku nggak napsu bikin cerita cinta-cintaan.” Gama menghampakan permintaan Nala.

“Kak Gama kan pintar ngegombal tuh, aku yakin Kak Gama bisa bikin cerita romantis yang bagus.”

“Pintar ngegombal? Nih gombal!” Gama melempar mangkok Nala dengan roti tawar yang ia potong.

“Eh kalau Kak Gama butuh inspirasi yang romantis, kan ada aku. Kan aku lumayan manis, bayangin aku aja.” rayu Nala sambil mencecap daging durian.

“Kamu galak gitu kok, dimana romantisnya?”

Nala menengadah, “Memangnya aku galak, ya? Pantas di sekolah tadi, aku merasa mencakar seseorang.”

“Uhk?” Gama tersedak. “Tenang Gama, selama ini kamu bukan satu-satunya korban Nala.” batin Gama.

“Bercanda, Kak. Anaknya orang, nggak ikut ngasih makan, nggak ikut mandiin, main cakar-cakar aja.” sanggah Nala sadar Gama memandanginya kikuk.

Gama dan Nala melanjutkan usaha mengkandaskan isi mangkuk.

Nala mencuil daging durian terakhir. Matanya langsung tertuju pada ruko gado-gado. “Kak, ruko gado-gadonya sudah sepi?”

Gama ikut menoleh ke warung gado-gado. Gama meraba saku celana, “Aku bayar esnya. Kamu tunggu disini dulu.” Gama bersendawa panjang mengosongkan udara di perut.

Nala memperhatikan Gama yang berdiri di meja kasir. Nala memelintir ujung rambut sebahunya. Rasa penasaran tentang foto foto di kamar Gama mendadak kembali muncul.

#-#-#


Bu Piye langsung memicingkan matanya. Bu Piye melihat melalui ekor matanya pada kedatangan Ibu pelanggan yang hobi menawar setengah ngajak berantem.

“Sayurnya masih banyak, Bu Piye?” Si Ibu memilih-pilah tumpukan sayur di meja depan warung. Si Ibu tampak tertarik melihat ayam potong di samping sayuran. “Ayamnya berapa duit, Bu?”

“Ayam lima belas.” jawab Bu Piye datar.

Si Ibu memasang wajah kecewa, “Mahal juga, ya. Padahal bulunya nggak bisa dimakan?”

“Nah loh!” Bu Piye mengasah pisau dapur.

“Kalau setengahnya?” Si Ibu mencari opsi yang lebih murah.

“Setengah, dapatnya delapan ribu.” jawab Bu Piye masih datar.

“Nggak usah, deh. Bungkusin saya ikan tongkol, kentang, sama sawinya seikat aja, Bu.” pesan si Ibu mantap.

Bu Piye memasukkan belanjaan ke tas kresek dengan dongkol. Sementara, si Ibu menerawang ke dalam warung.

Pandangan si Ibu menyisir isi warung mencari sesuatu. Setelah membayar belanjaannya, si Ibu kembali melirik meja sayur, ia masih menyimpan ketertarikan pada ayam potong. Si Ibu kembali bertanya kepastian banderol yang dipasang Bu Piye, “Bu Piye, harga ayamnya nggak bisa kurang lagi, nih ?”

“Ayamnya nggak dijual!” jawab Bu Piye tegas, tidak lagi punya minat menjual ayam potongnya.

Si Ibu menunjuk sahdu pada ayam potong, “Nggak dijual? Trus ini...”

“Mau aku bikin sabuk!” jawab Bu Piye keras.

“Saabuk?” Si Ibu bingung.

“Iya, sabuk kulit! Sabuk kulit ayam! Puaas?!”

“Heh, kok gitu?” Si Ibu terpaksa menyingkir dari warung dengan mempertanyakan daya kreatifitas Bu Piye, “Memangnya bisa, ya? Memang bisa, gitu?”

Lihat selengkapnya