.6.
Dewi mengenakan seragam kerja di balik pintu lemari yang terbuka. Sesekali Dewi melirik Nala yang duduk bersila, termenung di atas tempat tidur.
Dewi dibuat pening oleh permintaan mendadak Nala yang ingin pergi ke tempat ayah mereka dan tinggal disana. Tidak ingin lagi mendengar omongan Ibu Ros seperti semalam dan malam-malam sebelumnya yang menjadi pencetusnya.
Dewi merangkul pundak Nala dan kembali merayu agar Nala mengurungkan niat. Tapi Nala tidak bergeming.
“Kamu pikir dulu lagi, jangan buru-buru memutuskan. Ya?” Dewi meletakkan telapaknya pada pundak Nala, “Kamu sekarang mandi, biar segar. Sudah siang juga, kamu nanti telat. Kak Dewi ini juga sudah telat.”
Dewi kembali meminta Nala untuk memikirkan ulang rencana nekadnya dan mencari pemecahan masalahnya malam nanti.
Dewi memasang kaca mata, “Kamu mandi. Kak Dewi tunggu di meja makan, hari ini kita berangkat bareng kak Iwan. Ibu sudah telat buat buka rumah makan.”
Nala memandangi kecewa pintu kamar yang baru saja mengantar kakaknya keluar.
Dengan gerak lambat Nala memaksa kakinya untuk mau diajak turun dari tempat tidur.
#-#-#
Sepulang sekolah, Nala langsung ke tempat Gama. Nala mengetuk keras pintu rumah Gama, kesal lagi-lagi terkunci di luar.
“Kak Gama, bukaa!”
Nala mengetuk untuk kesekian kalinya sebelum menyadari Gama muncul dari arah gapura. Kedua tangan Gama menjinjing kantong belanjaan dari Bu Piye.
“Sudah lama?” sapa Gama. Nala masih menekuk muka tidak menjawab pertanyaan Gama.
Melihat wajah Nala yang kurang bersahabat, Gama mempercepat prosesi membuka pintu. Gama buru-buru masuk, Nala membuntuti. Sesampai di ruang makan, Nala langsung memeluk tubuh Gama dari belakang. Gama belum sempat meletakkan belanjaan ke atas meja.
Gama bingung, siang ini Nala tidak ceria seperti biasanya, “Nala, kamu kenapa?”
“Nala lepas, ini...!” Gama berusaha melonggarkan tangan Nala melingkar di tubuhnya, tapi Nala memeluk lebih erat.
Nala menyandarkan kepala pada punggung Gama. Kemarahan Ibu Ros semalam, siang ini terbayar lunas.
Gama jadi kikuk Nala memeluknya lama. Terkadang, Gama senang ketika Nala bersikap manja. Tapi kali ini sedikit berbeda, dan Gama tidak tahu apa penyebab Nala mendadak seperti sekarang.
“Nala lepas. Aku kentut, nih!” ancam Gama. Tapi Nala tetap pada lakunya.
“Tuh kan, kamu meluknya ke perut, racunnya jadi keluar deh, hehe.” Gama mengeluarkan trik terakhirnya, dengan berbohong.
Nala melepas pelukannya, berganti memukul punggung Gama, “Ih, jahat banget, sih!”
Nala masuk kamar Gama dan mengunci pintu dari dalam. Gama bertambah bingung, “Nala kamu kenapa sih? Aneh banget.”
Gama melihat ke dalam bungkus tas belanjaan, “Hei, aku bikinin mie, ya?!”
Hampir setengah jam Nala mengunci diri. Gama mengesampingkan rasa ganjil untuk mengetuk pintu di rumahnya sendiri. Kamarnya telah dibajak Nala, “Nala buka! Nala!”
Pintu kamar masih terkunci. “Hei. Aku keluar sebentar, ya? Ke warung Bu Piye. Ini belanjaannya ada yang kurang.” Gama tahu betul cara memancing Nala untuk keluar kamarnya.
Dan berhasil.
^^KLEK! Pintu kamar dibuka dari dalam.
Nala masih dengan muka ditekuk, langsung menuju meja bundar. Gama ikut duduk.
Gama mengaduk kopi yang masih panas seraya memperhatikan murung Nala, “Kamu hari ini lucu, datang-datang langsung meluk. Ditanyain, nggak jawab.”
Nala masih terdiam. Jelas Nala tidak mau bercerita semalam ia dimarahi Ibu Ros gara-gara dekat dengan Gama, bukan kabar gembira untuk dibagikan. Jika Nala bercerita, ia justru takut Gama menjauhinya.
Nala mengangkat sendok, memainkan mie tanpa kuah di mangkuk.
“Kemarin, kamu bawa nasi goreng buat aku. Sekarang aku buatin kamu mie goreng. Jadi sepertinya kita impas.” Gama mendorong mangkuk lebih dekat ke depan Nala.
Nala semakin menekuk muka, “Impas gimana?”
“Ya, impas itu… ya impas.”
Nala kembali diam untuk menangkap maksud Gama, “Kak Gama nggak jadi beli... ah..!” Nala ragu meneruskan ucapannya. Nala membaca Gama tidak punya niatan baik menepati janji di sungai kemarin. Janji untuk membelikannya sesuatu yang istimewa di hari istimewanya.
“Ah, sudahlah. Aku juga sudah males mau datang ke sini tadi!” Nala berdiri meninggalkan meja makan.
Gama langsung meraih lengan Nala, menahan langkah Nala yang berniat meninggalkan rumahnya, “Eh Nala, hari ini kamu jutek banget, ya.” Gama mengembalikan Nala ke posisi duduk.
“Ya kak Gama, pinter banget kalau disuruh cari gara-gara!”
"Tungguin sebentar. Aku ke kamar dulu." Gama meninggalkan meja bundar untuk masuk kamar. "Kamarku kamu acak acak, nggak?"
Sejurus kemudian, Gama kembali kehadapan Nala membawa sebuah kejutan. Gama menyodorkan sebuah gelang, “Nih, buat menghilangkan jutek kamu.”
Melihat gelang di tangan Gama, air muka Nala langsung berubah, “Wiiih...!”
“.... wiihh, cantik...!”
Gama mengalungkan gelang di pergelangan tangan kiri Nala. Hati Nala berjingkat. Nala mengagumi gelang pemberian Gama. Nala memutar keliling gelang, mengamati pola ukirannya. Nala sangat menyukainya.
“Keren, Kak! Keren!” Nala tidak berhenti mengumbar wajah senyum. Gama ikut senang. Nala menggunakan jari telunjuknya, mengelus liontin gelang berbentuk bayangan daun agar lebih berkilau.
“Wiih, cantik...” Nala mulai mau menoleh ke Gama, “Gelangnya keren, kak!”
“Keren, kan?”
“Keren. Gelangnya bagus banget!”
“Gimana? Cincinnya nggak jadi, ya?” tanya Gama memastikan.
“Ya deh, ini aja. Lebih cantik.” Nala memamerkan gelang barunya, “Kok Kak Gama bisa punya gelang?” tanya Nala.
“Rahasia dong…” balas Gama seraya mengecup bibir mug kopi panasnya.
“Serius tanya, Kak...” Nala menekan suara butuh jawaban.
“Sudah. Nggak usah dibahas. Kalau kamu memang suka. Kamu pakai aja.”
Saat ini Gama tidak ingin menceritakan asal usul gelang kepada Nala. Emosi Nala masih labil. Nala terlalu senang, setelah sebelumnya terlalu mudah marah tanpa Gama tahu pasti pemicunya.
Gama masih ingin mempertahankan suasana hati berbunga Nala yang tengah menikmati gelang barunya. Gelang berliontin bayangan daun pemberiannya.
#-#-#
Pekerjaan rumah selesai, Oki membawa baju robek Nala dan topi Gama ke rumah Bibik. Oki duduk di kursi di dalam kamar Bibik. Oki meminjam peralatan Bibik untuk menjahit manual topi Gama.
Oki mengamati taburan bunga di lantai dekat tempat tidur Bibik. Di samping bantal Bibik juga terdapat taburan beberapa keping kelopak mawar. Oki mengagumi keharuman rumah Bibik seperti Nala tempo hari.
“Sering beli bunga, rumahnya jadi segar ya, Bik.” puji Oki tanpa sambutan dari Bibik penjaga pemakaman.
Bibik duduk membelakangi Oki, menambal lurus pinggiran baju sobek Nala menggunakan mesin jahit. Bibik menghisap rokoknya sebelum menoleh ke Oki, “Nala lagi ngapain, Ki?”