Sebuah Romansa Putih

Arifzu
Chapter #7

Babak ketujuh Romansa

.7.



Terang langit pagi menaungi Gama yang kini berambut cepak dan mengenakan topi warna hijau pupus lawasnya. Dari arah warung Bu Piye, Gama berjalan melewati rumahnya sendiri langsung menuju arah rumah besar. Tangan Gama menenteng bungkusan dari daun pisang berisi bunga.

Di depan beranda rumah besar, Gama menghentikan langkahnya. Kaki Gama tidak sengaja menendang papan kayu bertuliskan ‘DIJUAL TELP.435573’ yang tergeletak roboh. Gama menancapkan papan lebih ke pinggir.

Gama memasuki beranda untuk kemudian menekan satu tombol pada kotak meteran listrik. Lampu depan yang biasa Putih pandangi berkedip padam. Lampu bolam depan rumah Bibik yang kabelnya tersambung dengan rumah tempat Gama berdiri ikut padam.

Semenjak rumah besar kosong, Gama dimintai tolong untuk menyalakan dan mematikan lampunya.

Gama beralih memandangi lama bagian dalam rumah Bibik dari pintunya yang terbuka, tidak juga ia dapatkan penampakan Putih. Gama melanjutkan langkahnya ke pemakaman bersama bunganya.

Gama melempar batu kerikil ke tengah aliran sungai, hanya untuk melihat bulatan riak di permukaan air dari tempatnya duduk di atas bale bambu sekarang. Pantulan acak sinar matahari pada riak permukaaan sungai menerpa kaos Gama yang bertuliskan -INI ITU BUDI- 

Urutan kedua setelah ke makam, Gama selalu mampir ke sungai.

Gama kembali melempar satu batu kecil untuk mendapatkan reaksi yang sama dari air. Pandangan Gama tak lepas dari denyut riak air sungai, tetapi pikirannya melayang kepada sosok Putih.

Fokus menulis Gama belakangan terpecah. Perasaan aneh kembali muncul dalam dua minggu ini. Perasaan yang sudah lama tidak datang, tiba-tiba kembali mengusiknya.

Perasaan aneh, seperti ada sesosok yang mengamatinya ketika tidur dan membangunkannya tempo malam. Juga perasaan yang sama di pagi hari dimana ia benar-benar kehilangan fokus menulisnya, memperkuat cerita orang dukuh tentang sosok Putih yang sering ia dengar.

Pertanyaan ‘Apakah penampakan Putih adalah benar dia?’ kembali terngiang di kepalanya. Pertanyaan yang tidak pernah bisa ia jawab, karena Gama tidak pernah benar-benar mendapati penampakan itu.

Tapi satu yang jelas, saat ini belum ada sosok yang bisa menemaninya bersantai di bale sungai Dukuh Trowulan untuk berbagi cerita. Teriakan ‘Lupakan dia, Gam!’ dari Awang tidak pernah berhasil mengubah haluannya untuk memutuskan tetap sendiri. Entah kapan cerita kesendiriannya berakhir. Cerita kisah kasih terakhinya masih membekas kuat.

Kisah kasih terakhirnya pula yang telah berhasil meruntuhkan egonya untuk tidak lagi segan menulis cerita bertema cinta, tema yang selalu ia hindari. Gama punya terlalu banyak kenangan indah untuk disimpannya sendiri. Kisah kasih terakhirnya berhasil mengubah banyak hidup Gama.

Dan Gama belum bisa melepas kenangan indah kisah kasih terakhirnya dari ingatan.

#-#-#


Awang ditemani Febri, mendatangi rumah Gama untuk mengambil motor yang ia tinggal semalam. Pagi ini Awang membawa motor milik Febri untuk aktifitas paginya.

Awang duduk di atas jok motor menunggu Febri mengetuk pintu rumah Gama, tapi pintu tak kunjung terbuka. Gama belum pulang dari sungai.

“Nggak ada, Bang. Sepertinya lagi keluar.” ujar Febri menyerah.

“Febri... Febri.” Awang terlihat kesal, “Ngetuk pintu pelan banget. Nggak sekalian aja kamu peluk pintunya, biar mesra!”

Febri dibuat cengar-cengir oleh kritik Awang. Febri pun kembali mengetuk pintu, kali ini lebih kuat. Febri tetap tidak menemukan tanda Gama berada di dalam.

“Sudahlah, paling-paling lagi ke kuburan. Gak bener tuh anak, setianya kelewatan.” Awang memandang lurus jalan setapak menuju pemakaman dan sungai Dukuh Trowulan.

“Siapa mas?...si Putih?”

“Ya, siapa lagi. Kenalnya berapa bulan, nggak bisa lupanya berapa tahun?”

Awang tidak pernah mengerti dengan sikap Gama yang selalu menggagalkan usahanya untuk mencarikan pengganti Putih. Semalam Gama juga gagal menunjukkan foto cewek seperti yang Gama janjikan.

“Kuat juga Gama ya, Bang.” Febri ikut menerawang jalan berbatu ke arah menuju pemakaman.

“Aku sebenarnya nggak percaya si Putih itu penampakan cewek Gama yang meninggal itu, Gama juga enggak. Tapi belakangan sepertinya Gama percaya. Ada nama Putih di novel barunya. Judulnya juga ada Putih-Putihnya”

“Namanya siapa, Bang?”

“Ya, kamu tahu sendiri, dia bukan asli sini. Jadi, waktu ada orang dukuh yang nggak begitu kenal dia, pergi mancing di kali atau nyekar ke kuburan, dan lihat sekilas penampakan dia di rumah Bibik, manggilnya ya apa yang kelihatan di mata.” terang Awang.

Awang menarik nafas panjang. “Namanya Mona apa Nala, ya? Lupa-lupa inget. Sudah lama juga. Aku terlanjur ikut orang dukuh manggilnya si Putih!” imbuh Awang.

“Mona kan nama cewek baru di tongkrongan kita, Bang?” sanggah Febri.

“Iya, ya.”

Awang memutar motor menghadap gapura gang makam bersiap meninggalkan rumah Gama, “Kita nunggu Gama di warung Bu Piye, Feb.”

“Kata orang-orang, ada yang pernah lihat, di rumah Bibik ada dua penampakan gitu, Bang?” tanya Febri memastikan kebenaran cerita orang-orang dukuh.

“Dua penampakan, ya? Dua penampakan...?” Awang menahan jawabannya. Awang tidak menjawab siapa gerangan bayangan kedua itu. Awang merasa tidak berkepentingan menjawab yang bukan otoritasnya.

Febri duduk diboncengan, Awang menancap gas untuk mencari kopi di warung Bu Piye.

#-#-#


Sebuah minivan merapat ke depan rumah besar. Oki, keluar dari pintu tengah membawa dua tas kresek besar berisi belanjaan. Oki masuk rumah.

Jimi meludahkan permen karetnya keluar jendela, sebelum memutar balik mobil di samping rumah. Jimi melongokkan wajahnya ke spion, memastikan rambut klimisnya tidak berantakan.

Tidak lama, Ibu Ros keluar rumah dan masuk ke mobil yang sudah kembali terparkir di halaman. Ibu Ros, duduk di kursi depan samping Jimi. Dewi, menyusul Ibu Ros keluar rumah dan masuk pintu tengah minivan. Sesaat kemudian, minivan meninggalkan halaman rumah besar.

Di pintu depan rumahnya, Bibik penjaga pemakaman menyempatkan diri mengenakan kalung berliontin kayu, ia merapikan rambut panjangnya. Satu tangan Bibik menjepit rokok yang baru dibakar.

Bibik melempar senyum ketika keluar rumah tepat berpapasan dengan Nala keluar rumah besar mengenakan seragam abu-abu putih dan menjinjing rantang...

“Bukankah ini melelahkan, jika kamu terus mengulang cerita ini?” suara Bibik dari arah belakang membangunkan Putih dari bayangan di pagi dimana ia membawa nasi goreng untuk Gama.

Bibik mendampingi Putih berdiri di pintu memandang rumah lama Putih, “Bibik lelah terus melihat kamu seperti ini. Bukankah itu sakit? Bukankah itu menyesakkan?”

Putih hanya bisa menunduk.

“Kamu membayangkan waktu kamu dan Gama berangkat bareng lagi?” tanya Bibik kali ini lebih lembut, berusaha tidak terlalu keras kepada Putih. Pagi ini Putih terlihat lebih tidak berdaya dari biasanya. Peristiwa semalam dimana ia hampir tertangkap oleh Hantu bergaun hitam menyedot habis tenaganya.

“Ya, Bik. Selalu pagi itu.” lirih Putih. “Pagi dimana aku tidak membalas sapa Bibik. Pagi aku membawa nasi goreng. Selalu pagi itu.”

Selintas, Putih kembali berangan tentang memori kebersamaannya dengan Gama yang kian lama kian memendek, tidak pernah mundur lebih jauh dari lingkaran kenangan tentang ketika Putih membawa nasi goreng dan menumpahkan kopi Gama pagi itu. 

Kenangan yang berlanjut pada ingatan hari-hari terakhirnya bersama dengan Gama. Putih merindukan kenangan ketika pertama bertemu atau jalan bersama ke kota yang mungkin pernah ia alami bersama Gama. Semua seperti kian memudar dan semakin terhapus.

“Orang dukuh memanggilmu dengan panggilan sosok Putih. Bukan kah itu tanda. Semesta coba memberikan cerita terbaiknya agar engkau bisa melupakan masa lalu kamu sebagai...” Bibik sungkan melanjutkan kalimatnya.

Bibik tidak tahu pasti kenapa nama Putih melekat lebih kuat untuk sosok di sampingnya sekarang.

“Semesta telah mempermudah agar kamu bisa... melupakan Gama…” Bibik memandang lampu penanda Gama sudah melewati depan rumahnya untuk pergi ke pemakaman. 

“Bibik yakin akan ada cerita baru untuk kamu.”

“Apa dia masih ingat aku, Bik?” tanya Putih lirih. "Apa Kak Gama masih ingat aku?"

“Gama pasti mengingat kamu, sayang. Kamu pernah mengisi hatinya dan mungkin sampai sekarang.” Bibik meyakinkan Putih bahwa bunga yang selalu dibawa Gama ke makam cukup mewakili bagaimana perasaan Gama kepada Putih.

“Begitu ya, Bik…”

Pandangan Putih kini kembali tertuju pada pintu rumah lamanya, yang di dalamnya banyak menyimpan cerita dirinya. Putih masih bisa merasakan kehangatan bersama kakaknya, terutama untuk membicarakan Gama.

“Rumahku sudah ada yang nempatin, Bik?”

Bibik menoleh ke papan tulisan yang Gama tadi tancapkan, “Belum...”

Putih menoleh ke Bibik, “Maafin aku ya, Bik. Gara-gara menolong aku, Bibik...jadi…”

“Kamu sudah terlalu sering bilang maaf. Kamu tahu Bibik nggak pernah menyalahkan kamu, Bibik nggak pernah marah dengan kamu.”

“Tapi kalo Bibik nggak menolong aku, Bibik pasti masih hidup dan …” suara sesal Putih terdengar berat.

“Sshh… sudah.” Bibik memotong kalimat Putih, “…ini sudah jalannya. Kalo Bibik masih hidup, mungkin Bibik nggak bisa menemani kamu.”

Meski Bibik sudah berulang kali berkata sudah melupakan cerita kelam itu, Putih masih sering merasa bersalah kepada Bibik. Peristiwa yang menjadi salah satu kepingan pahit cerita Putih. Putih juga menyesal dulu tidak mau dekat dengan Bibik, yang justru menjadi malaikat yang berusaha menolongnya.

Dan pagi ini Bibik terpaksa kembali mengalah untuk memenuhi permintaan Putih. Mengalah untuk bercerita tentang siang terakhir dari hidupnya. Entah sudah berapa kali Putih meminta Bibik untuk mengulang cerita tentang siang naas itu. Peristiwa yang sebenarnya menyakitkan untuk mereka berdua.

...Siang itu.

Lihat selengkapnya